Suku Bunga Acuan Turun Lagi, Pertumbuhan Ekonomi Direvisi Jadi 4,2-4,6 Persen
BI kembali menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,5 persen. BI juga merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 5 persen-5,4 persen menjadi 4,2 persen-4,6 persen karena dampak Covid-19 ke ekonomi.
Oleh
dimas waraditya nugraha
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkurangnya pasokan valuta asing, imbas dari aliran modal asing keluar akibat ketidakpastian yang diciptakan penyebaran Covid-19, menggoyahkan rupiah. Selain memastikan geliat ekonomi domestik tetap berjalan, Bank Indonesia berkomitmen meningkatkan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), 18-19 Maret 2020, memutuskan menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5 persen. BI juga menurunkan suku bunga penempatan dana rupiah (Deposit Facility) sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen dan suku bunga penyediaan dana rupiah (Lending Facility) sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen.
Melalui siaran video langsung, Kamis (19/3/2020), Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan penurunan suku bunga diharapkan bisa mendorong pembiayaan ekonomi agar momentum pertumbuhan tetap terjaga.
”Dampak pandemik Covid-19 akan langsung terasa pada data ekonomi Indonesia di triwulan I-2020. Kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten sebagai langkah preemptif untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik,” ujarnya.
BI juga merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dari sebelumnya 5 persen-5,4 persen menjadi 4,2 persen-4,6 persen. Sebagai bantalan agar pandemik Covid-19 tidak memperburuk ekonomi domestik dalam jangka panjang, BI meningkatkan intensitas intervensi pada tiga pasar uang demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
BI merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dari sebelumnya 5 persen-5,4 persen menjadi 4,2 persen-4,6 persen.
Pertama, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, bank sentral telah meningkatkan intensitas intervensi secara langsung di pasar spot atau tunai melalui penjualan valuta asing (valas). Tujuan intervensi ini untuk menahan pergerakan rupiah lebih ke dalam.
BI juga menambah intensitas intervensi di pasar valas berjangka Domestic Nondeliverable Forward (DNDF) sebagai instrumen lindung nilai rupiah dalam jangka menengah. DNDF adalah kontrak jual-beli valas dalam jangka waktu tertentu di pasar domestik dengan nilai kurs yang ditentukan dari awal menggunakan patokan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR). Instrumen ini bermanfaat untuk lindung nilai.
Terakhir, BI meningkatkan intervensi pembelian Surat Berharga Negara (SBN), sebanyak dua kali lelang pada sesi Jumat pagi dan sore, untuk menjaga tingkat imbal hasil SBN serta pelemahan rupiah lebih lanjut. Sejak awal 2020 hingga Kamis ini, BI telah membeli SBN yang dilepas investor asing di pasar sekunder senilai total Rp 192 triliun.
Untuk meningkatkan efektivitas intervensi, per 20 Maret 2020 BI akan memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas rupiah perbankan.
”BI juga akan menambah frekuensi lelang FX swap tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan, dari sebelumnya tiga kali seminggu menjadi setiap hari, guna memastikan kecukupan likuiditas. Kebijakan ini berlaku efektif sejak 19 Maret 2020,” ujar Perry.
Mengelola likuiditas
Sementara itu, agar pengelolaan likuiditas valas di pasar domestik optimal, BI mendorong perbankan memanfaatkan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) valas ke level 4 persen. Tujuannya agar perbankan Tanah Air dapat mengakomodasi kebutuhan valas bagi industri dalam negeri.
Adapun insentif pelonggaran GWM rupiah sebesar 50 basis poin yang semula hanya ditujukan untuk perbankan penyalur pembiayaan ekspor-impor, per 1 April 2020 akan diberlakukan juga untuk perbankan penyalur kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan sektor prioritas lainnya.
BI pun mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening rupiah dalam negeri bagi investor asing sebagai syarat dasar (underlying) transaksi dalam transaksi DNDF. Tujuannya agar dapat mendorong lebih banyak lindung nilai atas kepemilikan rupiah di Indonesia. Kebijakan ini berlaku efektif paling lambat pada 23 Maret 2020.
Selain pelonggaran yang bersifat moneter, lanjut Perry, BI juga berkomitmen memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran Covid-19. ”Caranya dengan menjamin ketersediaan uang higienis serta mendukung penyaluran dana nontunai untuk program pemerintah,” ujarnya.
Ekonomi tumbuh 4,7 persen
Dihubungi secara terpisah, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu menilai kinerja ekonomi domestik terdampak oleh pembatasan perjalanan dan pembatasan jarak antarorang (social distancing) untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Upaya-upaya tersebut menyebabkan bisnis mengurangi produksi barang dan/atau jasa, alhasil aktivitas ekonomi menjadi lebih rendah. Berdasarkan perhitungan LPEM Universitas Indonesia, pandemik Covid-19 dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 berada di kisaran 4,7 persen.
”Keputusan BI untuk meningkatkan intervensi di pasar valas sudah tepat mengingat ketakutan investor global akan ketidakpastian telah memicu arus modal keluar dari negara-negara berkembang,” ujarnya.
Pandemik Covid-19 dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 berada di kisaran 4,7 persen.
Di sisi lain, berkurangnya pasokan dollar AS di pasar valas telah menyebabkan depresiasi rupiah hingga 11 persen dalam satu bulan terakhir. Berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) per Kamis (19/3/2020) ini, rupiah berada di level Rp 15.712 per dollar AS.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Peraturan OJK No 11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan kontra siklus (countercyclical) dampak dari pandemik Covid-19. Melalui peraturan OJK ini diharapkan penyebaran Covid-19 tidak meningkatkan risiko kredit yang nantinya berpotensi menganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan.
Dalam dokumen resmi yang diterima Kompas, Kamis (19/3/2020), dijelaskan bahwa sasaran dalam kebijakan ini antara lain debitor yang terkena dampak penyebaran Covid-19, termasuk debitor usaha mikro, kecil, dan menengah.
Aturan ini bertujuan mendorong perbankan mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan penetapan kualitas aset dan kebijakan restrukturisasi kredit.
Peraturan OJK ini memberikan keringanan kepada kredit yang direstrukturisasi. Artinya, khusus debitor bank yang terkena dampak Covid-19, status kreditnya bisa saja ditetapkan lancar kendati sedang dalam tahap penurunan kualitas kredit.
Terdapat sejumlah substansi yang harus dipenuhi dalam pemberian stimulus ini, seperti penetapan kualitas kredit yang terkena dampak penyebaran Covid-19 dengan plafon sampai Rp 10 miliar. Peraturan OJK ini hanya berlaku untuk kredit yang telah disalurkan kepada debitor terdampak Covid-19.