Indeks Harga Saham Gabungan hari ini ditutup pada zona hijau karena didukung sentimen pembelian saham kembali. Namun, tekanan global memaksa rupiah melemah hari ini, ke posisi Rp 16.273 per dollar AS.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pembelian saham kembali membuat pasar modal di dalam negeri kembali positif pada perdagangan akhir pekan. Namun, efek positif langkah tersebut diperkirakan tidak akan berlangsung lama jika tekanan jual tidak kunjung mereda.
Pada perdagangan akhir pekan, Jumat (20/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 2,18 persen ke level 4.194,94. Sebelumnya dalam empat hari beruntun, IHSG melemah. Secara akumulasi sejak awal tahun ini hingga hari Jumat ini, IHSG anjlok 33,41 persen.
Analis Sucor Sekuritas, Hendriko Gani, mengapresiasi keputusan otoritas pasar modal yang membolehkan emiten melakukan aksi pembelian kembali saham (buyback) tanpa melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS). Langkah ini dinilai sebagai sentimen yang dapat menggenjot kinerja pasar modal menjadi berbalik arah jadi positif.
”Sentimen ini (buyback) secara periodik memiliki dampak bagus bagi IHSG yang membuat adanya potensi technical rebound,” ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Hendriko, efektivitas buyback juga dipengaruhi likuiditas saham di bursa dalam negeri. Agar penguatan IHSG dapat terus berlanjut, tekanan jual yang saat ini lebih tinggi daripada tekanan beli harus diredakan.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sejauh ini ada 36 emiten yang telah mengumumkan pembelian saham kembali pada Maret-Juni 2020. Anggaran maksimal 36 emiten tersebut mencapai Rp 14,67 triliun.
Namun, penguatan IHSG pada perdagangan akhir pekan ini belum diiringi dengan kembalinya dana investor asing ke Indonesia. Sepanjang perdagangan hari ini, investor asing membukukan penjualan bersih Rp 794,07 miliar.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menuturkan, pelemahan IHSG dalam beberapa waktu terakhir akibat penyebaran berita negatif di pasar keuangan dan saham. Berita negatif cenderung lebih cepat menyebar ketimbang berita positif.
Di sisi lain, kondisi psikologis investor cenderung lebih sensitif terhadap proyeksi kerugian ketimbang proyeksi keuntungan.
”Akibatnya, ketika menghadapi kerugian dan ancaman, investor cenderung akan panik. Kepanikan akan lebih sulit reda meski peluang keuntungan terbuka,” ujarnya.
Kondisi psikologis tersebut, menurut Hans, membuat pasar keuangan bergerak secara asimetris ketika menghadapi sentimen positif dan sentimen negatif.
Harga saham cenderung turun lebih cepat akibat sentimen negatif perkembangan data Covid-19 dibandingkan dengan kenaikan alami karena sentimen positif mengenai kabar stimulus fiskal dan moneter dari pemerintah.
Perilaku investor emerging market, lanjut Hans, juga dipengaruhi pola herding behavior, yakni pola investor memilih untuk mengikuti keputusan yang dibuat investor lain. Keputusan beli dan jual kerap dilakukan tanpa landasan fundamental, tetapi mengikuti tindakan pelaku pasar lain dan konsensus pasar.
”Ketika pasar turun pada titik tertentu, sering pelaku pasar mulai ikut-ikutan menjual untuk menghentikan kerugian yang terjadi. Ini sering menimbulkan kerugian,” ujarnya.
Rupiah melemah
Sementara itu, pasar uang juga melemah, sejalan dengan pelemahan di pasar modal. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat, rupiah telah berada di level Rp 16.273 per dollar AS. Sejak awal Maret, rupiah telah melemah 2.051 poin.
Pengamat pasar mata uang Farial Anwar mengatakan, keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, 18-19 Maret 2020, untuk menambah intensitas intervensi di pasar spot, Domestic Nondeliverable Forward (DNDF), dan pasar surat berharga negara (SBN) sudah tepat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Namun, kebijakan yang populer disebut dengan triple intervention ini tidak dapat menahan tekanan global. Menurut Farial, hal yang paling sulit dibendung dalam periode saat ini adalah dana investor asing yang keluar dari pasar domestik.
Pasar Indonesia dinilai sebagai pasar yang menarik karena memiliki selisih suku bunga yang cukup jauh dari US Treasury. Namun, dalam kondisi penuh ketidakpastian seperti saat ini, investor asing akan menjauhi rupiah dan lebih mendekati aset safe haven seperti dollar AS.