Indonesia Ajukan Utang Luar Negeri Tangani Covid-19
Utang luar negeri RI akan bertambah untuk penanganan Covid-19 di sektor kesehatan dan stimulus bagi masyarakat menengah bawah. Hal ini tetap harus dibarengi kehati-hatian dalam menjaga defisit fiskal agar tak melebar.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menggalang pinjaman luar negeri untuk penanganan Covid-19. Untuk tahap awal, pemerintah telah mengantongi komitmen dari lembaga multilateral Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, Indonesia sudah berkomunikasi dan berkoordinasi dengan beberapa lembaga multilateral untuk mendapatkan pinjaman. Skema pinjaman yang sedang dalam proses ialah Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia.
”Dalam kondisi seperti saat ini, kami terbuka dan fleksibel dengan kerja sama dan dukungan dari partner multilateral ataupun bilateral,” ujar Luky yang dihubungi Kompas dari Jakarta, Minggu (22/3/2020).
Dalam kondisi seperti saat ini, kami terbuka dan fleksibel dengan kerja sama dan dukungan dari partner multilateral ataupun bilateral.
Pinjaman multilateral diperlukan untuk antisipasi kekurangan dana penanganan Covid-19 yang telah dialokasikan dari APBN sebesar Rp 118,3 triliun-Rp 121,3 triliun. Dana itu bersumber dari realokasi belanja kementerian/lembaga Rp 62,3 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 56 triliun-Rp 59 triliun.
Dari dana itu, Rp 38 triliun digunakan untuk pendidikan, jaring pengaman sosial, dan kesehatan. Selain itu, sebesar Rp 6,1 triliun untuk asuransi bagi tenaga medis yang menangani Covid-19.
Luky mengatakan, jumlah dan skema pinjaman masih terus dirundingkan. Pinjaman yang dibidik baik dari bilateral maupun multilateral. Pada 2020, pemerintah menetapkan pagu pinjaman dalam APBN sebesar Rp 37,5 triliun. Adapun realisasi pinjaman per Februari 2019 sebesar Rp 1,7 triliun atau 4,6 persen dari pagu.
”Masih terus dirundingkan terkait jumlah ataupun skemanya (pinjaman yang dibutuhkan),” ujarnya.
Sabtu lalu, ADB memberikan hibah senilai 3 juta dollar AS untuk penanganan Covid-19 di Indonesia. Hibah diberikan untuk membeli peralatan medis, seperti ventilator, sarung tangan, apron, dan masker bagi tenaga medis. ADB menyiapkan paket hibah senilai 6,5 miliar dollar AS untuk membantu negara-negara berkembang menangani pandemi Covid-19.
”Bantuan ini akan meningkatkan kemampuan Indonesia untuk melakukan tes terhadap virus, menangani kasus, dan mengurangi risiko penularan di antara tenaga medis,” kata Presiden ADB Masatsugu Asakawa.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, akhir pekan lalu, mengumumkan kesiapan IMF memberikan pinjaman darurat untuk penanganan Covid-19. Total pinjaman lebih dari 50 miliar dollar AS untuk negara berpendapatan menengah dan rendah. Dari jumlah itu, pinjaman 10 miliar dollar AS diberikan tanpa bunga khusus untuk negara termiskin.
IMF menilai, ada banyak negara yang berisiko terdampak Covid-2019 karena sistem kesehatan yang lemah, ruang kebijakan yang tidak memadai, eksportir komoditas terkena guncangan perdagangan, dan penyebab lain sehingga sangat rentan terhadap kondisi pembalikan ekonomi (spillover).
”Saya khususnya prihatin dengan anggota kami yang berpenghasilan rendah dan lebih rentan. Kebutuhan pembiayaan di negara-negara itu akan meningkat dengan cepat karena biaya ekonomi dan manusia dari virus meningkat,” ujar Georgieva.
IMF menilai, ada banyak negara yang berisiko terdampak Covid-2019 karena sistem kesehatan yang lemah dan ruang kebijakan yang tidak memadai.
Kehati-hatian fiskal
Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Febrio Kacaribu mengatakan, stimulus fiskal diperlukan untuk memerangi penyebaran virus korona baru. Namun, pemberian stimulus tetap harus dibarengi kehati-hatian dalam menjaga defisit fiskal.
”Penyebaran Covid-19 berimbas ke penurunan penerimaan negara,” ucapnya.
Menurut hitungan LPEM UI, pemberian stimulus fiskal senilai 1,6 miliar dollar AS berpotensi memperlebar defisit anggaran ke kisaran 2,7-2,8 persen. Pelebaran defisit dengan asumsi proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,7 persen, inflasi stabil 3 persen, depresiasi rupiah 11 persen, dan harga minyak dunia mentah tetap rendah sekitar 30 dollar AS.
”Kami masih melihat ruang bagi pemerintah sangat terbatas. Skenario yang lebih buruk untuk asumsi-asumsi di atas akan berisiko defisit fiskal yang melebihi ambang 3 persen,” kata Febrio.
Mengutip laman Bloomberg, rata-rata negara di dunia mengalokasikan stimulus fiskal sebesar 1,9 triliun dollar AS untuk menangani Covid-19 dan menopang pasar keuangan dan bisnis. Stimulus yang diberikan berupa bantuan uang tunai dan layanan kesehatan. Beberapa negara juga memberikan pengurangan pajak dan dukungan pinjaman.
Selain Indonesia, sejumlah negara juga telah memberikan insentif fiskal untuk penanganan Covid-19, seperti Australia senilai 11,4 miliar dollar AS, Kanada 14,4 miliar dollar AS, Spanyol 15,6 miliar dollar AS, dan Korea Selatan 29,8 miliar dollar AS.
Kartu prakerja
Sementara itu, pemerintah memprioritaskan program Kartu Prakerja untuk memberi jaminan perlindungan sosial bagi pekerja yang kehilangan pendapatan atau diputus hubungan kerja di tengah pndemi Covid-19.
Pergeseran fokus anggaran ini akan dibahas dalam proses harmonisasi peraturan turunan Kartu Prakerja, yakni peraturan menteri koordinator bidang perekonomian dan peraturan menteri keuangan. Kedua regulasi teknis itu akan mulai dibahas pekan ini sebelum program Kartu Prakerja berlaku pada April 2020.
Direktur Eksekutif Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari menuturkan, melihat perkembangan kondisi di dalam negeri, beberapa pasal dalam peraturan teknis itu akan ditinjau ulang untuk mengakomodasi kebutuhan kemanusiaan yang saat ini lebih mendesak.
”Desain program yang awalnya dititikberatkan pada pelatihan tenaga kerja lewat kelas-kelas pelatihan daring akan dialihkan untuk melindungi pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja,” ujarnya. (AGNES THEODORA)