Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Senin (23/3/2020), kembali dihentikan. Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia tergantung dari penanganannya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan saham di awal pekan kembali diwarnai penghentian perdagangan sementara atau trading halt karena indeks saham anjlok 5 persen. Pelemahan ini merupakan mekanisme pasar sebagai dampak dari situasi global dan domestik, baik terkait perang harga minyak mentah maupun penanganan Covid-19 di dalam negeri.
Pada perdagangan Senin (23/3/2020) pukul 14.52, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 5 persen ke level 3.985. Setelah perdagangan dihentikan selama 30 menit, IHSG tidak mampu kembali ke level 4.000 hingga akhirnya ditutup di level 3.989,52. Dengan demikian, sepanjang perdagangan hari ini, IHSG anjlok 4,9 persen dibandingkan dengan penutupan perdagangan pada Jumat akhir pekan lalu.
Total volume saham yang ditransaksikan sepanjang hari mencapai 6,76 miliar unit saham dengan nilai transaksi Rp 5,49 triliun. Investor asing membukukan penjualan bersih di pasar reguler atau di pasar saham mencapai Rp 111,48 miliar. Namun, di seluruh pasar modal, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 36,64 miliar.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan menilai, pandemi Covid-19 di dunia dan penurunan drastis harga minyak dunia menyebabkan koreksi tajam di pasar finansial global.
Sejak awal tahun ini hingga 23 Maret 2020, IHSG telah turun 36,67 persen. Kapitalisasi pasar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) sebesar Rp 4.616 triliun atau tergerus Rp 2.598 triliun dibandingkan dengan kapitalisasi pasar pada 25 Januari 2020 yang mencapai Rp 7.214 triliun.
”Ini adalah black swan event, suatu peristiwa tidak terduga, sangat jarang terjadi, dan membawa dampak yang ekstrem. Kepanikan pasar terlihat jelas pada nilai tukar rupiah. Hal ini tentu bukan merupakan nilai wajar,” ujar Katarina.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Senin, rupiah telah menembus level Rp 16.608 per dollar AS. Sementara pada penutupan pasar tunai di hari yang sama, rupiah berada pada level Rp 16.550 per dollar AS.
Ia mengatakan, wabah Covid-19 dan penurunan harga minyak dunia menyebabkan ekspektasi perihal resesi global. Akan tetapi, ujar Katarina, dirinya melihat harga minyak yang rendah itu tidak akan berkelanjutan karena perang harga yang diinisiasi oleh Arab Saudi diperkirakan akan mendorong Rusia untuk kembali berunding.
Sementara itu, lanjutnya, seberapa besar dampak wabah Covid-19 terhadap perekonomian tergantung dari seberapa cepat dan efektif penanganan penyebarannya. Saat ini semakin banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menerapkan kebijakan pembatasan sosial atau social distancing untuk mengurangi penyebaran virus.
”Dengan kesadaran tinggi dari seluruh dunia dan tindakan tegas untuk meredam penyebaran virus ini, diharapkan wabah dapat ditangani dan jumlah kasus mulai stabil serta menurun sebelum akhir triwulan II-2020,” ujarnya.
Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Samuel Kesuma mengatakan, dalam situasi yang masih sangat dinamis dan fluktuatif seperti saat ini, sulit untuk menghitung seberapa dalam dan seberapa lama perlambatan ekonomi global akan terjadi.
Berkaca pada China, dibutuhkan waktu dua bulan untuk memerangi Covid-19 sampai ke level tidak ada lagi kasus harian baru yang muncul. Samuel mengasumsikan, aktivitas ekonomi baru akan berjalan normal setidaknya pada Juli dan mulai pulih secara gradual memasuki triwulan III-2020.
”Namun, asumsi ini sangat bergantung pada kesiapan pemerintah dalam menghadapi situasi ini. Terlebih lagi, problem pada aktivitas ekonomi saat ini telah beralih dari masalah sisi pasokan ke masalah sisi permintaan,” ujarnya.
Dilonggarkan
Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo menyampaikan, regulator pasar modal yang terdiri dari OJK, BEI, Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) melakukan sejumlah pelonggaran untuk meredam gejolak pasar.
Jumlah maksimum pembelian saham kembali (buyback) oleh emiten atau perusahaan publik tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham ditingkatkan dari sebelumnya 10 persen modal disetor menjadi 20 persen modal disetor.