Upaya simultan dibutuhkan untuk melindungi kelompok rentan. Selain terancam wabah Covid-19, mereka juga terancam sulit memperoleh pendapatan harian.
Oleh
cyprianus anto saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja informal, pelaku usaha mikro, penganggur terbuka, buruh tani, dan pekerja lain dengan pekerjaan yang sifatnya subsisten kini menghadapi ancaman di tengah merebaknya Covid-19. Pendapatan mereka yang masuk dalam kelompok rentan itu hanya cukup untuk bertahan hidup.
Mereka tak memiliki cukup uang untuk dibelanjakan dan tak cukup persediaan makanan. Sebagian dari mereka juga tak mempunyai perlindungan sosial dan jaminan kesehatan yang memadai.
”Posisi mereka dilematis sekali. Saya istilahkan, keberanian mereka sudah melampaui batas kematian. Dia akan mengambil risiko untuk tetap bekerja atau mengais rezeki demi bisa memberi makan keluarganya,” kata Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (23/3/2020).
Suroto menuturkan, pemerintah harus serius dalam melihat dan menangani masalah tersebut. Hal ini bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga menyangkut keselamatan jiwa kelompok rentan yang terpaksa harus terus beraktivitas di tengah ancaman wabah.
Selain alokasi pendanaan untuk mencegah meluasnya wabah Covid-19, dibutuhkan pula alokasi pendanaan atau bantuan langsung untuk bertahan hidup bagi kelompok rentan yang menganggur. Ini mencakup juga penganggur terbuka serta mereka yang kehilangan pekerjaan dan usaha karena terdampak wabah.
”Pemerintah seharusnya memiliki data para penerima, misalnya yang masuk Program Keluarga Harapan. Data itu juga bisa diminta dari swasta, misalnya perusahaan-perusahaan ojek daring,” katanya.
Selain alokasi pendanaan untuk mencegah meluasnya wabah Covid-19, dibutuhkan pula alokasi pendanaan atau bantuan langsung untuk bertahan hidup bagi kelompok rentan yang menganggur.
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga mengatakan, para pengusaha diharapkan menaati surat edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) tentang perlindungan pekerja atau buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19.
Melalui surat edaran tersebut, Menaker Ida Fauziyah meminta para gubernur, salah satunya, untuk mendorong setiap pemimpin perusahaan segera membuat rencana kesiapsiagaan. Rencana kesiapsiagaan perusahaan tersebut dibutuhkan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
”Tujuannya adalah memperkecil risiko penularan di tempat kerja dan menjaga kelangsungan usaha. Menurut kami, kondisi saat ini bisa dikatakan sebagai kondisi darurat karena penyebaran Covid-19 sudah cukup masif,” ujarnya.
Andy juga meminta ada penyemprotan disinfektan di kawasan industri serta penyediaan cairan antiseptik, masker, dan sarung tangan bagi pekerja.
”Kami juga mendesak BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan yang mengelola dana Rp 400 triliun dengan keuntungan sekitar Rp 72 triliun pada 2019 turut membantu pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Kami juga mendesak BPJS Ketenagakerjaan yang mengelola dana Rp 400 triliun dengan keuntungan sekitar Rp 72 triliun pada 2019 turut membantu pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19.
Pembatalan kontrak
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan, pelaku industri alas kaki lokal mulai kewalahan karena penurunan luar biasa di ritel. Kontrak-kontrak pesanan dari pemilik brand atau merek untuk pasar dalam negeri mulai dibatalkan dengan merebaknya Covid-19.
”Bahkan yang sudah kontrak saja juga dibatalkan. Makanya, hasil produksi kemarin pada masuk gudang,” lanjutnya.
Firman menambahkan, para pelaku industri khawatir kondisi ini berlangsung lama. Untuk itu, mereka terus memantau perkembangan penanganan dampak penyebaran Covid-19 sambil berharap kondisi berat ini tak berlangsung lama.
”Tantangannya adalah soal ketenagakerjaan; harus bayar gaji, BPJS, dan tunjangan hari raya,” ujarnya.