Defisit APBN Bisa Direlaksasi Menjadi 5 Persen PDB
Penanganan Covid-19 harus memerhatikan keberlangsungan APBN 2020 dan perekononian nasional. Untuk itu, pemerintah diminta mengambil beberapa langkah strategis, salah satunya merelaksasi defisit APBN menjadi 5 persen PDB.
Oleh
Karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Revisi dilakukan dalam rangka merelaksasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara dari 3 persen menjadi 5 persen produk domestik bruto.
Relaksasi defisit APBN menjadi salah satu topik pembahasan Badan Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam telekonferensi tertutup, Senin (23/3/2020).
Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengatakan, penanganan Covid-19 harus memperhatikan keberlangsungan APBN 2020 dan perekonomian nasional. Untuk itu, pemerintah diminta mengambil beberapa langkah strategis, salah satunya merelaksasi defisit APBN menjadi 5 persen PDB.
”Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh penyebaran pandemik Covid-19 sudah sangat memukul perekonomian. Hampir semua indikator ekonomi makro mengalami perubahan yang sangat signifikan,” ujar Said dalam siaran pers yang dipublikasikan Selasa (24/3/2020).
Penanganan Covid-19 harus memerhatikan keberlangsungan APBN 2020 dan perekonomian nasional. Untuk itu, pemerintah diminta mengambil beberapa langkah strategis, salah satunya merelaksasi defisit APBN menjadi 5 persen PDB.
Perppu diperlukan guna mendukung upaya pemulihan kesehatan masyarakat akibat Covid-19. Selain itu, perppu juga untuk memastikan pelaksanaan program perlindungan sosial yang tepat sasaran dan mendukung sektor UMKM dan informal untuk bisa bertahan di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Wacana relaksasi defisit APBN sejatinya mengemuka setelah sejumlah lembaga internasional memperingatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi semakin nyata pada 2020. Beredar wacana pelonggaran defisit dari 3 persen PDB setiap tahun menjadi rata-rata 3 persen dalam lima tahun.
Pada 2020, pemerintah menetapkan defisit APBN Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen PDB. Defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen PDB sesuai peraturan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Pembatasan defisit APBN untuk mengantisipasi krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998.
Dibandingkan dengan negara tetangga, pada 2018, defisit anggaran Malaysia 3,59 persen PDB, Vietnam 4,72 persen PDB, Jepang 3,17 persen PDB, China 4,82 persen PDB, India 6,4 persen PDB, dan Thailand 0,25 persen PDB. Adapun defisit anggaran Indonesia pada periode yang sama 2018 sebesar 1,76 persen PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, defisit APBN 2020 dipastikan melebar dari proyeksi, yang sebesar 1,76 persen PDB. Pelebaran defisit APBN bisa mencapai 2,5 persen PDB karena pemerintah butuh tambahan dana untuk menangani Covid-19 dan menjaga pertumbuhan ekonomi.
Tidak masalah
Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, Indonesia harus menerbitkan stimulus fiskal yang terukur dan terarah untuk penanganan Covid-19. Stimulus fiskal diarahkan untuk membantu korporasi kecil dan penduduk berpenghasilan rendah, termasuk pekerja informal.
”Pasar dan investor tidak masalah jika defisit fiskal 2,5 persen PDB atau di atas itu. Kebijakan fiskal yang kontra siklus justru dibutuhkan,” ujar Enrico.
Pasar dan investor tidak masalah jika defisit fiskal 2,5 persen PDB atau di atas itu. Kebijakan fiskal yang kontra siklus justru dibutuhkan.
Pelebaran defisit APBN jadi pilihan karena penerimaan perpajakan saat ini masih lesu. Realisasi penerimaan perpajakan per Februari 2020 sebesar Rp 178 triliun atau hanya tumbuh 0,3 persen dibandingkan Februari 2019. Adapun realisasi penerimaan pajak mengalami kontraksi 5 persen atau sebesar Rp 152,9 triliun.
Menurut Enrico, kebijakan pelebaran defisit APBN diperlukan bukan hanya untuk penanganan Covid-19 saat ini, melainkan setelahnya. Hampir semua negara di dunia mulai mengambil ancang-ancang untuk diversifikasi rantai pasok global, tidak terpusat ke China. Krisis akan mengubah lanskap perekonomian global.
”Kepercayaan pasar harus diperbaiki dan ditingkatkan dengan kebijakan pemerintah yang berkelanjutan,” katanya.
Enrico menambahkan, berbagai kebijakan moneter mulai dari penurunan suku bunga acuan, relaksasi giro wajib minimum, dan intervensi pasar, tidak secara langsung bisa memperbaiki ekonomi. Akar permasalahan saat ini adalah manusia dan terbatasnya pergerakan dan kegiatan ekonomi. Berbeda dengan krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008.