Ekspor Masker Dilarang, Utamakan Kebutuhan Dalam Negeri
Perusahaan Indonesia dilarang mengekspor masker. Namun, sudah ada perusahaan yang telanjur terikat kontrak dengan negara lain.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melarang masker diekspor demi memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Namun, masih ada perusahaan yang telanjur menandatangani kontrak penjualan masker dengan negara lain.
Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memastikan pintu ekspor ditutup rapat. Pengusaha yang melanggar akan dikenai sanksi administratif hingga pidana.
Larangan sementara ekspor masker diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Larangan Sementara Ekspor Antiseptik, Bahan Baku Masker, Alat Pelindung Diri, dan Masker. Peraturan yang dikeluarkan pada 18 Maret 2020 itu berlaku sampai 30 Juni 2020. Eksportir yang melanggar ketentuan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Selasa (24/3/2020), mengatakan, pengawasan di lapangan dilakukan melalui kerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Setiap pengiriman ekspor masker akan diawasi dan ditahan di Bea dan Cukai, kemudian dilaporkan ke Kemendag untuk ditindaklanjuti.
”Kalau masih ada yang mencoba-coba ekspor, tentunya akan ditahan oleh Bea dan Cukai. Sejauh ini koordinasi terus berjalan, pintu sudah ditutup rapat-rapat oleh Bea dan Cukai,” kata Oke saat dihubungi dari Jakarta.
Oke menambahkan, peraturan dalam Permendag Nomor 23 Tahun 2020 sudah jelas. Benda yang dilarang untuk diekspor hingga tiga bulan mendatang adalah antiseptik berbasis alkohol, asam ter batubara dan alkali, serta antiseptik dalam kemasan aerosol ataupun yang tidak dalam kemasan aerosol.
Selain itu, bahan baku masker berupa kain bukan tenunan yang terbuat dari filamen buatan ataupun non-filamen buatan dengan berat tidak lebih dari 25 gram per meter persegi. Larangan itu juga berlaku untuk alat pelindung diri, yaitu pakaian pelindung medis dan pakaian bedah. Terakhir larangan ekspor masker, baik masker bedah untuk keperluan medis maupun masker dari bahan nonwoven selain masker bedah.
Tanda tangan kontrak
Meski demikian, menurut Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani, masih ada beberapa perusahaan yang mengekspor masker. Sebagian besar adalah perusahaan yang telanjur menandatangani kontrak penjualan masker dengan negara lain sejak sebelum kasus Covid-19 dinyatakan ada di Indonesia.
”Perusahaan lokal, terutama. Kalau yang besar sudah paham kebutuhan dalam negeri sangat tinggi. Tetapi, jumlahnya tidak begitu banyak karena mayoritas sekarang fokus untuk keperluan dalam negeri,” katanya.
Kadin sudah mendekati pabrik-pabrik yang masih mengekspor dan menjelaskan perihal larangan ekspor yang baru dikeluarkan pemerintah. ”Kami membantu bagaimana caranya sebisa mungkin agar mereka menyetop dulu ekspornya untuk masker,” katanya.
Pembatalan ekspor, tambah Shinta, tidak semudah itu dilakukan jika kontrak sudah telanjur ditandatangani. Apalagi, sejumlah perusahaan multinasional bekerja sama langsung dengan pemerintah negara bersangkutan, bukan antar-perusahaan. Untuk itu, dibutuhkan bantuan berupa intervensi dari pemerintah untuk membantu melobi pemerintah negara tujuan ekspor terkait larangan ekspor ini.
”Karena mereka biasanya sudah ada arrangement dari jauh hari. Misalnya perusahaan asal Korea sudah bikin kesepakatan dengan pemerintahnya bahwa barang-barangnya akan diekspor ke sana meski bikin pabrik di Indonesia. Itu, kan, harus ada intervensi, ada lobi dari pemerintah untuk membantu nego dengan pemerintah negara lain,” ujar Shinta.
Oleh karena itu, kebijakan pembatalan ekspor ini tetap harus diterapkan secara berhati-hati. ”Di satu sisi memang kita fokus untuk menyediakan kebutuhan untuk masyarakat kita, tetapi kalau semua ekspor kita berhentikan, harus dilihat ekspornya bagaimana. Kalau ekspornya sudah ongoing beberapa waktu, kan, tidak segampang itu disetop. Dan, itu bisa mengganggu bisnis mereka ke depan, jadi perlu hati-hati,” katanya.
Badan Pusat Statistik mencatat lonjakan ekspor masker kesehatan sepanjang Februari 2020, sebelum Covid-19 dinyatakan masuk ke Indonesia. Pada Januari 2020, nilai ekspor masker hanya 2,1 juta dollar AS. Pada Februari 2020, angka itu melonjak hingga 34 kali lipat menjadi 75,2 juta dollar AS. Per 18 Maret 2020, Indonesia resmi melarang sementara ekspor alat kesehatan terkait Covid-19.
Bukan hanya Indonesia, negara lain, di antaranya Malaysia, Thailand, India, dan Jerman, juga telah menerapkan kebijakan larangan ekspor masker seiring peningkatan jumlah kasus Covid-19 di banyak negara. Kebijakan ini bahkan memunculkan konflik antarnegara yang berburu masker, seperti Jerman dengan negara tetangganya, Swiss dan Austria.
Belum ada laporan
Oke mengatakan, sejauh ini belum ada lagi laporan dari Bea dan Cukai mengenai temuan ekspor masker sejak keluarnya permendag. Jika ada pelaku usaha yang masih nakal dan mengekspor, maka akan mendapat sanksi sesuai peraturan perundang-undangan, baik sanksi administratif ringan maupun berat hingga pidana.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, sanksi bagi perusahaan yang melanggar tercantum dalam Pasal 112 Ayat (1). Bunyinya, setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang ditetapkan sebagai barang yang dilarang untuk diperdagangkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.
”Belum ada yang melanggar, belum ada laporan. Kita ini negara hukum jadi harus ada kepastian hukum dulu. Baru diberikan sanksi ringan atau berat, sesuai tingkat pelanggarannya, intinya tetap mengacu pada undang-undang,” kata Oke.
Adapun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan, di Indonesia sudah ada 30 lebih perusahaan swasta dan satu perusahaan BUMN yang memproduksi masker. Selain itu, ada pula industri lain yang sedang mengalihkan produksinya untuk ikut memproduksi masker, seperti industri tekstil.
Erick mengatakan, 4,7 juta masker yang sudah diproduksi PT RNI sudah didistribusikan ke gerai-gerai Kimia Farma seluruh Indonesia. Untuk menggenjot produksi masker lebih tinggi, pemerintah sudah memberikan keringanan tata niaga impor bahan baku alat kesehatan, termasuk masker.
”Kimia Farma akan produksi lagi di bulan April. Saya sudah laporkan ke Menteri Kesehatan tadi malam,” katanya dalam konferensi pers jarak jauh via daring, Selasa.