Rekomendasi impor produk hortikultura merupakan mekanisme kontrol pasokan dan kualitas untuk jamin konsumen. Oleh karena itu, percepatan importasi dinilai tidak perlu menghapus syarat rekomendasi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan harga produk hortikultura, seperti bawang putih dan bawang bombay, di pasaran dinilai tidak bisa serta-merta menghapus syarat rekomendasi. Rekomendasi impor produk hortikultura atau RIPH jadi salah satu mekanisme mengontrol pasokan serta menjamin kualitas produk yang akan dikonsumsi masyarakat.
Dalam prosesnya, RIPH diterbitkan oleh Kementerian Pertanian. Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto saat dihubungi, Senin (23/3/2020), menyatakan, rekomendasi merupakan salah satu syarat impor produk hortikultura. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pasal 88 yang mensyaratkan rekomendasi.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 tentang perubahan Permendag Nomor 44 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Regulasi ini menyatakan, produk bawang putih dan bawang bombay dikecualikan dari kewajiban perolehan izin impor dan laporan surveyor hingga 31 Mei 2020.
Salah satu pertimbangan aturan itu ialah terbatasnya ketersediaan produk hortikultura, khususnya bawang bombay dan bawang putih, bagi masyarakat Indonesia karena imbas pandemi Covid-19. Sebelumnya, RIPH menjadi syarat perolehan persetujuan impor bawang.
Pekan lalu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan, pembebasan persetujuan impor terhadap bawang putih dan bawang bombay bertujuan mempermudah dan mempercepat proses importasi. Harapannya, kemudahan itu mempercepat datangnya bawang putih ke Indonesia untuk menstabilkan harga di tingkat konsumen.
Sepanjang 2020 hingga saat ini, menurut Prihasto, Kementerian Pertanian sudah menerbitkan RIPH untuk sekitar 344.000 ton bawang putih dan 195.000 ton bawang bombay. Pada akhir Maret ini diperkirakan ada panen 5.000 ton bawang putih dan 20.000 ton pada April 2020.
Menurut Prihasto, saat ini penerbitan RIPH sudah lebih mudah lantaran wajib tanam 5 persen dari volume impor yang diajukan sudah tak lagi tercantum dalam pasal-pasal di Peraturan Menteri Pertanian Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis. Program wajib tanam ini tertera dalam pakta integritas pelaku usaha.
Sebelum Permentan Nomor 46 Tahun 2019 tersebut berlaku, importir bawang putih harus melaporkan pelaksanaan program wajib tanam untuk mendapatkan RIPH. Sepanjang 2019, Badan Pusat Statistik mencatat, impor bawang putih mencapai 465.344 ton dan seluruhnya berasal dari China.
Berdasarkan pantauan di situs Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, rata-rata nasional harga bawang putih di tingkat konsumen mencapai Rp 44.500 per kilogram. Pada awal tahun, harganya berkisar Rp 32.650 per kilogram.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi menggambarkan, situasi perekonomian serta permintaan dan pasokan pangan yang terdampak Covid-19 saat ini tergolong di luar normal. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan yang juga di luar situasi normal untuk menghadapi keadaan itu.
Pemerintah perlu mendigitalkan proses penerbitan rekomendasi impor agar lebih efektif, efisien, dan transparan.
Namun, Bayu menilai, rekomendasi mesti ada sebelum pelaku usaha mengimpor produk hortikultura pangan strategis. ”Utamanya, rekomendasi ini dibutuhkan untuk menjamin keamanan pangan, yakni dari sisi phitosanitary dan sanitari,” ujarnya.
Sebagai jalan tengah, Bayu mengusulkan, pemerintah perlu mendigitalkan proses penerbitan RIPH agar lebih efektif, efisien, dan transparan. Importir-importir dengan rekam jejak dan reputasi yang tergolong baik bisa mendapatkan prioritas dalam jangka waktu tertentu selama situasi masih di luar kondisi normal.