Sektor properti pernah menghadapi berbagai badai krisis. Kini, sektor ini kembali menghadapi dampai pandemi Covid-19. Mesti ada strategi baru untuk menghadapi kondisi seperti saat ini.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Dampak pandemi Covid-19 yang melemahkan aktivitas ekonomi menjadi tantangan besar bagi usaha properti. Industri properti yang pertumbuhannya sudah melambat sejak 2015 kini harus bersiap menghadapi pelemahan yang kian dalam.
Selama ini, pertumbuhan sektor properti tergantung dari kondisi ekonomi. Efek berantai pandemi Covid-19 dan nilai tukar rupiah yang melemah telah memaksa pelaku industri properti merevisi target pertumbuhan tahun ini. Penundaan penyelesaian sejumlah proyek tak terelakkan.
Seiring kegiatan industri pariwisata di sejumlah wilayah yang terhenti, subsektor properti terkait industri pariwisata juga menanggung dampaknya. Ruang pertemuan, insentif, pameran, dan konvensi atau MICE, yang jadi andalan pariwisata Indonesia tahun ini, menganggur. Dampak juga dirasakan industri perhotelan yang sepi.
Okupansi atau tingkat hunian hotel merosot seiring penurunan, bahkan pembatalan, perjalanan serta penundaan kedatangan tamu. Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), tingkat okupansi hotel pada 1-14 Maret 2020 hanya tinggal 20-50 persen dari total kapasitas.
Dampak lain juga terlihat pada subsektor properti yang meliputi pusat perbelanjaan, kamar sewa harian, ataupun proyek-proyek hunian yang sedang dipasarkan. Pemasaran rumah, misalnya, sulit dilakukan karena aktivitas di luar rumah terbatas. Kondisi serupa terjadi pada proyek yang sedang dibangun.
Padahal, sektor properti tidak hanya menyerap banyak tenaga kerja, tetapi juga memiliki efek berganda terhadap 170 industri terkait, mulai dari industri bahan bangunan hingga industri peralatan rumah tangga. Perlambatan pertumbuhan sektor ini tentu akan dirasakan beberapa industri lain.
Sektor properti di Tanah Air telah terbukti tahan banting menghadapi guncangan. Krisis ekonomi Indonesia pada 1998 serta krisis finansial global pada 2008-2009 yang dipicu kredit rumah yang macet, pernah menghantam industri properti. Namun, kondisi itu berhasil dihadapi dan dilewati.
Kini, di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang dihadapi dunia, ketahanan sektor properti kembali diuji. Inilah saatnya formulasi baru dirumuskan untuk menata industri properti agar bisa bertahan pada masa sulit dan kembali bangkit.
Pada era ledakan properti Tanah Air tahun 2012-2013, aset properti yang tidak likuid justru menjadi instrumen investasi jangka pendek dan jangka panjang yang diandalkan. Aset hunian, misalnya, dengan mudah bisa dijual dengan nilai berlipat ganda dalam rentang waktu singkat sehingga banyak spekulan meraup untung besar.
Kini, tren investasi bergeser. Pasar yang didominasi generasi milenial telah membawa tren baru pada iklim properti. Satu hal yang tak berubah, populasi besar penduduk Indonesia tetap menjadi ”ladang subur” bagi properti, baik untuk investasi maupun pengguna akhir.
Investor properti kelas atas yang dalam beberapa tahun terakhir menahan investasi merupakan potensi yang harus terus digarap sebagai pendorong valuasi pasar. Namun, upaya ini perlu didukung pemerintah melalui kemudahan skema perpajakan.
Dalam kondisi siklus properti ada pada titik bawah, berbagai strategi diperlukan pelaku industri untuk kembali menunjukkan kemampuan ”tahan banting”. Namun, pelaku industri tetap mesti didukung pemerintah. Bersama-sama dan bahu-membahu menjaga industri properti agar tetap berputar dan menjadi salah satu penggerak perekonomian Indonesia.