Pemerintah Longgarkan Impor Bahan Baku Masker dan Alat Pelindung Diri
Relaksasi bahan baku diharapkan mendongkrak produksi masker di dalam negeri. Dengan demikian, lonjakan kebutuhan masker di tengah pandemi Covid-19 bisa dipenuhi oleh perusahaan domestik.
Oleh
Agnes Theodora / M Paschalia Judith J
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah melonggarkan aturan impor bahan baku untuk mendorong produksi masker dan alat pelindung diri dalam negeri. Peningkatan produksi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masker, alat pelindung diri, dan antiseptik dalam negeri di tengah pandemi Covid-19.
Namun demikian, produsen menghadapi tantangan seiring makin mahalnya harga bahan baku. Selain akibat pelemahan nilai tukar rupiah, harga bahan baku makin mahal karena diperebutkan oleh sejumlah negara, terutama negara-negara yang terdampak Covid-19.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani mengatakan, persoalan bahan baku jadi salah satu kendala yang dihadapi produsen di dalam negeri. Indonesia membutuhkan komponen lapisan penyaring atau filter sebagai bahan baku utama masker. Komponen lain, tak jadi masalah karena bisa dicukupi oleh industri dalam negeri.
Perusahaan memesan bahan baku masker dari beberapa negara, terutama China dan India. Di tengah pandemi, India juga melarang ekspor bahan baku masker dan masker. Sementara itu, harganya makin tinggi seiring melemahnya nilai tukar rupiah.
Menurut Shinta, fokus saat ini adalah mencukupi kebutuhan dalam negeri tanpa mencari untung. “Pengusaha kami ingatkan untuk tidak mengambil untung. Prioritaskan untuk kebutuhan non-komersial, kali ini produksi untuk sosial, kita bisa cari uang belakangan,” ujarnya.
Saat ini, lebih dari 75 persen industri di China sudah beroperasi lagi, kecuali di Provinsi Hubei. China tidak melakukan pembatasan ekspor masker atau bahan baku masker ke negara lain. Namun, seiring kondisi China yang memulih, permintaan makin tinggi datang dari berbagai negara yang baru terdampak Covid-19.
Demi memudahkan impor, pemerintah memberi akselerasi dan relaksasi impor untuk keperluan alat-alat kesehatan dan alat pelindung diri. Per 24 Maret 2020, Kementerian Perdagangan pun mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedelapan atas Permendag Nomor 87-M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
"Harapannya, aturan ini dapat mempercepat masuknya alat-alat kesehatan yang dibutuhkan saat pandemi Covid-19 sehingga ketersediaan alat tercukupi dan tidak terjadi kekurangan,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.
Relaksasi impor itu berupa, impor sejumlah alat kesehatan mendapatkan pengecualian dalam kewajiban penyertaan laporan surveyor. Alat-alat kesehatan yang mendapatkan pengecualian itu, antara lain preparat pewangi ruangan; kertas dan tisu; produk antiseptik; stocking untuk penderita varises, dari serat sintetik; pakaian pelindung medis; dan pakaian yang digunakan untuk pelindung dari bahan kimia atau radiasi).
Selain itu juga pakaian bedah; masker bedah; masker lainnya dari bahan nonwoven, selain masker bedah; termometer infra merah; serta sanitary towel, tampon saniter, popok bayi dan barang semacam itu dari bahan selain tekstil, dankertas atau pulp kertas untuk sekali pakai.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan juga telah memberi sejumlah insentif pada barang-barang impor untuk penanggulangan Covid-19. Insentif yang diberikan berupa pembebasan bea masuk dan cukai, pembebasan pajak pertambahan nilai dan barang mewah atau PPN/PPnBm, pengecualian pajak penghasilan impor (Pph 22), serta pengecualian ketentuan niaga impor. Keringanan itu diberikan untuk impor dengan tujuan nonkomersial.
Adapun terkait larangan ekspor masker yang berlaku sejak 18 Maret 2020, Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Bea dan Cukai Deni Surjantoro mengatakan, sampai hari ini (25/3/2020), belum ditemukan adanya pengiriman masker ke luar negeri. Ekspor masker terakhir yang terpantau oleh Bea dan Cukai adalah selama bulan Februari 2020.
Produksi ditambah
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono menyatakan, pemerintah sudah mengimbau pelaku industri alat kesehatan nasional untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan tenaga medis dalam negeri. "Ada pabrik tekstil yang siap meningkatkan kapasitas produksinya dari 3.000 per hari ke 5.000 per hari," ujarnya saat dihubungi, Rabu.
Achmad mengonfirmasi, Kementerian Perindustrian juga berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk produksi APD dari industri tekstil dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Standar internasional menjadi acuan.
Sementara itu, untuk menambah pasokan masker di dalam negeri, Grup Sinarmas akan memulai produksi masker di Indonesia pada April mendatang. Managing Director Grup Sinarmas Gandi Sulistiyanto, saat bertemu dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Selasa (24/3/2020) mengatakan, asosiasi industri pulp dan kertas kini mulai memproduksi masker.
Produksi di Indonesia masih menunggu rampungnya persiapan pabrik. “Masker yang sudah kami bagikan sejauh ini masih impor. April ini semoga sudah jadi di Indonesia dan kita bisa mulai produksi,” katanya melalui konferensi video daring jarak jauh.
Ada 30 perusahaan swasta dan satu perusahaan BUMN yang bergerak di sektor farmasi yang memproduksi masker.
Proses impor alat kesehatan di tengah pandemi, menurut dia, semakin rumit. Swasta sudah tidak bisa lagi mengimpor secara mandiri karena banyak negara yang mewajibkan pembelian antar negara (government to government). Hal ini khususnya tampak dari pengadaan obat-obatan. “Kami tidak mampu impor tanpa bantuan pemerintah,” katanya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir mengatakan, di Indonesia, ada 30 perusahaan swasta dan satu perusahaan BUMN yang bergerak di sektor farmasi yang memproduksi masker. Selain itu, masih ada pula industri lain yang sedang mengalihkan usahanya untuk memproduksi masker seperti industri tekstil dan pulp dan kertas.
Sebanyak 4,7 juta masker yang diproduksi PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) sudah didistribukan melalui PT Kimia Farma (Persero) ke gerai-gerai seluruh Indonesia. Untuk menggenjot produksi masker lebih tinggi, pemerintah juga sudah memberi keringanan tata niaga impor bahan baku alat kesehatan. “Nanti akan produksi lagi bulan April,” katanya.
Adapun untuk alat pelindung diri (APD), Erick menerangkan, diproduksi sepenuhnya oleh perusahaan swasta. Hanya ada dua perusahan di Solo, Jawa Tengah yang membuat APD. Perusahaan BUMN tidak memproduksi.
“BUMN sekarang berupaya memberli APD dari luar negeri, kami bekerja sama dengan Garuda untuk pengangkutan, sudah siap dengan kargonya,” katanya.