Mukena Tazbiya, Bertahan karena Penjualan Daring
Pada masa pandemi seperti saat ini, banyak pedagang yang mengeluh omzetnya turun karena sepinya pembeli. Mukena Tazbiya mengatasi hal itu dengan mendorong penjualan daring. Kini konsumennya bahkan ada dari luar negeri.
Pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, semakin sedikit orang yang bepergian, semakin sedikit kegiatan yang dilakukan di luar rumah. Para pedagang, komoditas apa pun, juga mencari peluang untuk menjual barangnya, antara lain dengan menaikkan penjualan secara daring.
”Mulai minggu ini, penjaga toko saya alihkan menjadi administrator penjualan online. Penjualan di toko menurun banyak, tetapi penjualan online tetap saja ramai,” ujar Ferdi Ali Warga, CEO Tazbiya, yang ketika dihubungi secara daring sedang berada di Malaysia, Jumat (21/3/2020).
Saat ini, sebanyak 70 persen penjualan produk mukena Tazbiya dijual secara daring dan sisanya melalui beberapa toko yang ada di dua pusat perbelanjaan di Jakarta.
Bisnis berjualan mukena ini sudah dimulai Ferdi sejak lima tahun lalu. Ketika itu, Ferdi merupakan salah satu karyawan perusahaan tekstil yang memproduksi berbagai jenis bahan pakaian. Terkadang, ada berbagai macam motif bahan pakaian yang tersisa, padahal kualitasnya sangat baik. Ferdi memandangi bahan-bahan itu sambil berpikir membuat sesuatu.
Mulai minggu ini, penjaga toko saya alihkan menjadi administrator penjualan online.
Ferdi lalu meminta istri dari salah satu kurir di pabrik itu untuk menjahit gamis. Modelnya melihat dari internet. ”Tahap pertama, saya titip gamis-gamis ini kepada teman-teman. Lama-kelamaan, semua teman sudah saya titipi gamis, lalu saya bingung mau jual ke mana lagi,” kata Ferdi sambil tertawa mengingat masa awal bisnisnya.
Lalu dia memberanikan diri membuka sebuah toko di pusat perbelanjaan ITC Kuningan, Jakarta. Ketika itu, salah seorang pegawainya usul untuk membuat mukena. Menurut Ferdi, mukena yang ada sebagian besar adalah desain dari Bali, ukurannya kecil dan motifnya seperti baju pantai.
”Kurang masuk untuk selera pembeli,” ujarnya. Ferdi pun mulai merancang dan membuat mukena, selain gamis. Penjualan mukena laris manis. Dari satu toko, tahun berikutnya dia sudah dapat membuka toko lagi di Thamrin City, Jakarta.
Selain membuka toko, Ferdi juga mulai mempelajari bagaimana caranya berjualan secara daring, menggunakan berbagai platform akun media sosial. ”Sebagai pelaku UKM, kami memiliki komunitas, saling belajar, termasuk belajar menjual di Instagram atau Facebook,” tuturnya. Ferdi pun belajar bagaimana memasang foto di Instagram dari salah seorang temannya.
Basis data
Tidak hanya belajar informal, Ferdi juga belajar memasang iklan di media sosial dari kelas-kelas untuk pelaku usaha kecil dan menengah yang diselenggarakan oleh Facebook. ”Banyak sekali ilmu yang saya dapatkan dari kelas-kelas dari Facebook itu,” tuturnya.
Facebook memang memiliki program memberikan berbagai pelatihan untuk UKM di sejumlah kota untuk mengembangkan keterampilan digital para pelaku usaha kecil agar dapat memperluas bisnisnya. Walapun masa pelatihan sudah berlalu, sampai sekarang, mentor dari Facebook masih tetap memantau perkembangan bisnis Ferdi.
Kalau ke Malaysia, kami setiap bulan pasti ada permintaan. Ada juga pembeli dari Filipina, Korea, hingga Amerika Serikat.
Setelah ikut pelatihan, unggahan foto-foto mukena di IG Tazbiya tidak lagi sekadar memasang foto mukena, tetapi juga memperhatikan berbagai aspek, seperti visual yang lebih menarik dan informasi yang lebih lengkap. Dengan berjualan secara daring, jangkauan pasar mukena Tazbiya pun semakin meluas.
”Kalau ke Malaysia, kami setiap bulan pasti ada permintaan. Ada juga pembeli dari Filipina, Korea, hingga Amerika Serikat. Memang belum banyak, tetapi setiap bulan pasti ada,” ujar Addiniya Nurfarojandari, General Manager Tazbiya. Pengikut pada akun Instagram Mukena Tazbiya sudah lebih dari 1 juta akun.
Dari berjualan daring, Ferdi tidak sekadar memperluas pasar, tetapi juga mendapatkan data siapa saja pembelinya, seperti rentang usia, domisili, dan produk apa yang dibeli dari Tazbiya.
”Data ini sangat memudahkan kami. Kami dapat memetakan produk, seperti warna dan corak berdasarkan kelompok usia. Misalnya, kelompok usia 25-35 senang warna mukena yang soft, sementara usia 40-45 senang warna kuat, seperti golden rose, atau motif polos disukai kelompok usia 28-33 tahun,” tambah Adin. Dengan menganalisis data, Adin dan timnya dapat menentukan produksi mukena menurut preferensi kelompok usia tersebut.
Data itu juga dapat digunakan untuk beriklan secara daring melalui platform media sosial sehingga produk yang diiklankan tepat sasaran. Misalnya, iklan mukena berwarna lembut ditujukan untuk wanita dewasa muda, maka iklan itu akan muncul pada kelompok usia yang disasar. Dengan demikian, produk dapat dipasarkan lebih spesifik ke kelompok usia tertentu.
Persaingan usaha
Pebisnis UKM yang bergerak dalam bidang mode memang tidak sedikit. Ferdi mengakui, salah satu kelemahan para pebisnis UKM adalah sering melakukan perang harga, juga membuat produk yang tidak memakai merek.
Solusinya adalah membuat branding produk dan juga bagaimana produk yang dihasilkan menempatkan dirinya. ”Harga mukena produksi saya mulai dari Rp 150.000. Untuk harga Rp 250.000, itu sudah ada beberapa pemain yang kuat. Jadi, saya mengambil pasar di Rp 150.000-an hingga Rp 250.000-an,” kata Ferdi.
Saya tidak mau hanya sekadar berjualan saja. Saya ingin ada produk dan merek dari Indonesia juga yang memiliki pasar dan terkenal di luar negeri.
Sejak awal, Ferdi juga tidak mengikuti musim model mukena yang ada. Produknya memiliki motif yang berbeda dari produk lain dan membuat produk tersebut unik. Dilihat dari ukuran, mukena yang diproduksi oleh Ferdi juga lebih besar ketimbang merek lainnya. Hal ini disebut Ferdi sebagai nilai tambah produknya.
Berawal dari satu penjahit lima tahun lalu, saat ini produksi mukena Ferdi ditopang oleh 40 penjahit dan 10 mitra. ”Kurir pabrik, yang dulu hanya mendorong istrinya untuk menjahit, sekarang mengumpulkan 40 teman sekampungnya untuk menjahit mukena. Selain itu, kami juga punya penjahit mitra yang tersebar di beberapa kota, seperti Pekalongan. Saya memang tidak pernah menjahit mukena sendiri, selalu minta bantuan penjahit lain,” kata Ferdi.
Penjahit mitra merupakan penjahit rumahan yang diorder untuk menjahit mukena. Dengan order yang pasti dari Ferdi, para penjahit ini dapat meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik lagi.
Dalam satu bulan, ratusan kodi mukena berhasil dipasarkan. Ketika bulan puasa tiba, penjualan melonjak hingga tujuh kali lipat dari bulan biasa. Selain mukena, Ferdi sekarang juga memproduksi baju untuk di rumah dengan merek Hanaya.
Obsesi Ferdi selanjutnya adalah memperluas pasarnya hingga ke Malaysia. Saat ini, pesanan mukena dari Malaysia lumayan banyak. Dilihat dari bisnis, pembukaan cabang di Malaysia memang memberikan peluang yang baik.
”Tetapi, saya harus belajar dari sisi hukumnya, seperti bagaimana cara mendirikan perusahaan di Malaysia, bagaimana masalah perpajakannya. Hal seperti itu harus benar-benar saya pelajari. Saya tidak mau hanya sekadar berjualan saja. Saya ingin ada produk dan merek dari Indonesia juga yang memiliki pasar dan terkenal di luar negeri,” demikian impian Ferdi.