Konsumen Dunia Pilih Karantina Wilayah, Bagaimana Indonesia?
Persepsi yang lebih populer ialah ”lockdown” atau karantina hanya berlaku di daerah yang populasinya telah terinfeksi Covid-19 dengan tingkat keparahan yang tinggi. Sebanyak 50 persen dari responden memilihnya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Dalam perang melawan Covid-19, Indonesia masih di persimpangan pilihan antara mengarantina wilayah atau tidak. Padahal, berdasarkan survei dunia, konsumen global memilih karantina di wilayah dengan populasi terinfeksi yang tinggi sebagai langkah penanganan Covid-19 di negaranya.
GlobalWebIndex, perusahaan penelitian pasar di tingkat internasional yang berdiri sejak 2009, meluncurkan hasil riset tentang ”Coronavirus Research”. Riset ini melibatkan sekitar 12.500 responden dari 13 negara dengan pendekatan multipasar dan survei dihelat selama 16-20 Maret 2020.
Hasil riset menunjukkan, sepertiga dari responden sepakat setiap orang di negaranya mesti dikarantina total atau total lockdown untuk menangani merebaknya kasus Covid-19.
”Persepsi yang lebih populer ialah lockdown hanya berlaku di daerah yang populasinya telah terinfeksi Covid-19 dengan tingkat keparahan yang tinggi. Sebanyak 50 persen dari responden memilihnya,” kata Strategic Insights Manager GlobalWebIndex Virna Sekuj dalam seminar daring bertema ”Coronavirus: The Impact on Consumers” pada Jumat (27/3/2020) malam.
Persepsi yang lebih populer ialah lockdown hanya berlaku di daerah yang populasinya telah terinfeksi Covid-19 dengan tingkat keparahan yang tinggi.
Jika ditilik dari kelompok generasi, responden di semua rentang usia cenderung memiliki persepsi karantina berlaku di wilayah tertentu tersebut. Sebanyak 53 persen responden milenial (24 tahun-37 tahun) dan sebanyak 50 persen responden generasi Z (16 tahun-23 tahun) menyetujui persepsi itu.
Sebanyak 48 persen responden dari generasi X (38-56 tahun) dan 39 persen responden dari generasi baby boomers (57-64 tahun) menyepakati persepsi karantina wilayah tertentu. Namun, 31 persen generasi X memilih untuk karantina total, sedangkan sebanyak 32 persen generasi baby boomers setuju untuk isolasi diri dan tidak perlu ada karantina.
Dari sisi domisili responden, negara-negara dengan tingkat keparahan dan laju peningkatan kasus yang tinggi setuju dengan total lockdown. Misalnya, Italia, Spanyol, dan Perancis.
Akan tetapi, sebanyak 17 persen responden global menilai, isolasi diri dan tidak perlu lockdown cukup untuk menghadapi kasus Covid-19. Virna menyebutkan, persepsi ini berasal dari responden-responden yang berada di Amerika Serikat (AS). Hal ini menunjukkan, adanya kesenjangan antara ekspektasi konsumen terhadap kebebasan dan kenyamanan pribadi dengan realitas kesehatan publik.
Meskipun demikian, Trends Manager GlobalWebIndex Chase Buckle menyatakan, hasil riset menunjukkan, mayoritas responden menilai, prinsip-prinsip komunitas berperan krusial dalam penanganan Covid-19 di tataran negara. Persepsi ini populer baik di negara-negara dengan budaya individualis maupun kolektif.
Riset itu mengungkap tentang tingkat persepsi konsumen global terhadap penanganan Covid-19 di negaranya masing-masing. Konsumen diminta persepsinya apakah setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh sejumlah institusi di negaranya dalam menangani Covid-19.
Institusi-institusi itu terdiri dari perusahaan besar, pemerintah, pertokoan lokal, penerbangan, perbankan, kepegawaian, masyarakat sipil, dan perusahaan media sosial.
Buckle menyebutkan, konsumen global menilai, kebijakan penanganan Covid-19 oleh sejumlah institusi di negaranya tergolong baik. Persepsi dengan tingkat kesepakatan tertinggi dipegang oleh perusahaan besar, yakni 76 persen responden. Adapun perusahaan media sosial mendapatkan tingkat kesepakatan terendah dari konsumen global dibandingkan dengan institusi global, yakni 62 persen.
Refleksi di Indonesia
Dalam hal karantina wilayah, Indonesia telah memiliki payung hukum, yakni Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 55 UU tersebut menyatakan, selama masa karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah.
Jika merefleksikan dengan kondisi di Indonesia, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, riset persepsi konsumen dunia yang berkaitan dengan karantina wilayah itu relevan. Dari sisi pergerakan atau mobilitas internasional, Indonesia masih tergolong rendah.
”Namun, jika melihat mobilitas antardaerah di dalam Indonesia, karantina wilayah menjadi langkah penting untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid-19,” ujarnya saat dihubungi, Senin (30/3/2020).
Jika melihat mobilitas antardaerah di dalam Indonesia, karantina wilayah menjadi langkah penting untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid-19.
Menurut Faisal, karantina wilayah menjadi krusial bagi Indonesia karena kapasitas pemantauan institusi berwenang sulit untuk mencapai infrastruktur jalan terkecil, yakni di tingkat gang sempit. Padahal, pemantauan itu penting untuk membatasi pergerakan orang.
Dia mencontohkan, masih ada pengendara sepeda motor yang melewati gang atau jalan-jalan alternatif. Hal itu tak hanya terjadi di kota, tetapi juga antarkabupaten/kota, bahkan antarprovinsi.
Pemerintah mesti mempersiapkan pendataan untuk mengakomodasi kebutuhan pokok, terutama di kelas menengah bawah. Alur distribusinya pun mesti diatur sedemikian rupa agar tepat sasaran.
Mengacu pada Pasal 55 UU Kekarantinaan Kesehatan, Faisal berpendapat, pemerintah mesti mempersiapkan pendataan untuk mengakomodasi kebutuhan pokok, terutama di kelas menengah bawah. Alur distribusinya pun mesti diatur sedemikian rupa agar tepat sasaran.
Seiring dengan berkembangnya kasus Covid-19 di Indonesia, tagar #rakyatbanturakyat kerap muncul di media sosial. Sembari menunggu keputusan pemerintah soal karantina, masyarakat dapat saling membantu untuk membatasi pergerakan diri secara pribadi sebagai wujud pencegahan Covid-19 berbasis semangat kolektif dan komunitas.