April 2020 menjadi titik kritis pengendalian inflasi. Selain bertepatan dengan awal Ramadhan, pengendalian virus korona baru yang diikuti pembatasan pergerakan warga berpotensi mendongkrak harga.
Oleh
M Paschalia Judith J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan indeks harga konsumsi atau inflasi pada Maret 2020, yakni 0,1 persen, dinilai mencerminkan harga barang-barang kebutuhan yang terkendali. Namun, inflasi bulan ini berpotensi lebih tinggi, bersamaan datangnya bulan Ramadhan serta pembatasan wilayah yang lebih ketat untuk mencegah penularan virus korona baru.
Ketersediaan barang dan kelancaran arus logistik jadi penentu. ”Inflasi (Maret) cukup terkendali,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, saat memaparkan hasil survei BPS di 90 kota dalam telekonferensi, Rabu (1/4/2020).
Berdasarkan pengeluaran, kelompok perawatan pribadi memberi andil terbesar terhadap inflasi Maret 2020, yakni 0,06 persen. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau serta kelompok penyediaan makanan dan minuman menempati posisi kedua dengan andil masing-masing 0,03 persen.
Kenaikan harga perhiasan menyumbang inflasi tertinggi dalam kelompok perawatan pribadi dan jasa lain. Di kelompok makanan, kenaikan harga bawang bombay, telur ayam ras, dan gula pasir menjadi kontributor inflasi terbesar.
Suhariyanto menyatakan, pergerakan harga di April 2020 patut jadi sorotan dan perlu diantisipasi dengan strategi penyediaan pasokan dan kelancaran distribusi. Sebab, pekan terakhir April 2020 merupakan awal Ramadhan yang biasanya terjadi kenaikan permintaan.
Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam berpendapat, angka inflasi Maret 2020 menunjukkan harga kebutuhan masyarakat terkendali. Namun, April 2020 jadi titik kritis pengendalian inflasi. Selain awal Ramadhan, pandemi Covid-19 dan pembatasan pergerakan warga berpotensi mendongkrak harga.
Potensi kenaikan permintaan itu bersumber dari peningkatan kebutuhan rumah tangga dibandingkan Maret 2020. Menurut Latif, pemerintah perlu mengantisipasi penyetokan dalam jumlah besar di tingkat rumah tangga konsumen. Sebab, jika tidak ditangani dengan tepat, situasi itu bisa memicu kepanikan belanja.
April 2020 jadi titik kritis pengendalian inflasi.
Tak hanya di perkotaan, pengendalian pasokan barang dan stabilisasi harga juga mesti menyasar masyarakat tani di perdesaan. Sebab, ada kenaikan indeks konsumsi rumah tangga petani pada Maret 2020. Selain itu, nilai tukar petani turun 1,22 persen jadi 102,09 karena harga yang diterima petani turun, sedangkan biaya yang mesti dibayar oleh petani naik.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, inflasi di rumah tangga tani yang lebih tinggi dibandingkan inflasi di kota menunjukkan adanya ketimpangan distribusi atau kenaikan permintaan di desa, terutama terhadap produk industri yang digunakan masyarakat desa.
Guntur berharap pemerintah menyiapkan stimulus yang berorientasi pada ekonomi pertanian. Stimulus mesti mendukung daya produksi petani.