Problem Distribusi dan Produksi Tekan Pendapatan Petani
Hambatan distribusi seiring kian masifnya pembatasan sosial serta serangan hama dinilai menyebabkan harga jual hasil panen turun. Petani berharap pemerintah menjamin kelancaran distribusi agar harga jual optimal.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Turunnya nilai tukar petani pada Maret 2020 mencerminkan adanya tekanan pada pendapatan petani. Hambatan distribusi seiring kian masifnya pembatasan wilayah serta serangan hama dinilai menyebabkan harga jual hasil panen turun.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani (NTP) pada Maret 2020 mencapai 102,09 atau turun 1,22 persen dibandingkan pada bulan sebelumnya. Penurunan terjadi karena indeks harga yang dibayarkan petani (Ib), termasuk konsumsi rumah tangga serta biaya produksi dan barang modal, naik 0,14 persen. Sementara indeks harga yang diterima petani (It) merosot 1,08 persen.
NTP merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani. ”Penurunan indeks harga yang diterima petani cukup tajam sehingga NTP menurun,” kata Direktur Statistik Harga BPS Nurul Hasanudin, saat dihubungi, Kamis (2/4/2020).
Penurunan NTP terjadi di seluruh subsektor pertanian. NTP tanaman pangan, misalnya, turun 1,31 persen. Adapun NTP hortikultura turun 0,79 persen. Menurut Hasanudin, penurunan NTP tanaman pangan dipicu oleh melorotnya harga gabah di tingkat petani. Adapun penurunan NTP hortikultura terutama dipengaruhi oleh melemahnya harga yang diterima petani sayur.
Sepanjang bulan lalu, rata-rata harga jual gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 4.936 per kilogram. Angka ini turun 4,64 persen dibandingkan pada bulan sebelumnya.
Distribusi
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, penurunan NTP mencerminkan tekanan pendapatan yang dialami petani. Salah satu tekanan itu berasal dari rantai distribusi.
Aktivitas pengepul yang membeli gabah petani cenderung turun seiring kebijakan pembatasan sosial. Pembatasan dinilai menimbulkan ketidakpastian pada arus distribusi dan logistik. Selain itu, tekanan pendapatan datang dari hasil produksi yang rusak karena serangan hama tikus.
Penurunan NTP mencerminkan tekanan pendapatan yang dialami petani.
Awal musim tanam di akhir 2019 mundur sehingga masa panen raya pun bergeser ke April 2020. Pergeseran ini dinilai turut berpengaruh pada luasan lahan yang terdampak serangan hama. ”Berdasarkan laporan yang saya terima, serangan (hama tikus) ini dapat menurunkan produktivitas hingga 50 persen,” kata Guntur.
Selain kendala distribusi dan serangan hama, penurunan harga di tingkat petani terjadi seiring meluasnya area panen. Berdasarkan situasi tahun lalu, menurut data BPS, produksi beras nasional sepanjang Januari-April 2019 mencapai 13,62 juta ton, sebanyak 10,37 juta ton di antaranya diproduksi pada Maret-April 2019.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian memperkirakan, panen pada Maret 2020 mencapai 3,19 juta ton setara beras. Adapun puncaknya diperkirakan terjadi pada April 2020 dengan total produksi beras dapat mencapai 8,83 juta ton.
Guna mengantisipasi tekanan akibat hambatan distribusi, Guntur berharap pemerintah memperkuat penyaluran antardaerah, terutama ke daerah yang berbatasan langsung dengan daerah sentra. Selain itu, petani membutuhkan kepastian realisasi restrukturisasi kredit usaha rakyat (KUR) untuk membantu permodalan petani.
Belum menyejahterakan
Pada Maret 2020, pemerintah menaikkan harga pembelian GKP di tingkat petani menjadi Rp 4.200 per kg melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah atau Beras.
Peningkatan HPP diharapkan membuat petani mendapatkan harga yang lebih baik. Sebelumnya, HPP mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 dengan besaran Rp 3.700 per kg untuk GKP di tingkat petani.
Akan tetapi, menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, ongkos produksi GKP berdasarkan survei AB2TI asosiasinya pada April 2019 mencapai Rp 4.532 per kg. Artinya, kenaikan HPP berpotensi belum mampu menyejahterakan petani.
Pemerintah perlu mengamankan jalur logistik dan jalur distribusi produk pangan.
Dalam situasi pandemi dan kelesuan ekonomi seperti saat ini, pendapatan petani mesti disokong dengan jaminan kelancaran distribusi dari sentra panen ke konsumen. ”Pemerintah perlu mengamankan jalur logistik dan jalur distribusi produk pangan. Jangan sampai ada yang tertahan,” katanya.
Dalam jangka panjang, situasi saat ini mesti menjadi momentum pembangunan pertanian melalui peningkatan kesejahteraan petani sebagai kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap kemiskinan dan terdampak pelemahan perekonomian akibat Covid-19. ”Dengan menyejahterakan petani, stok pangan nasional pun dapat terjamin,” ujarnya.