Tidak ada yang menduga, dunia akan terkena pandemi Covid-19. Hanya sangat sedikit yang siap menangani pandemi ini. Dari sisi ekonomi, semua negara bersiap menghadapi perlambatan, dan mungkin resesi.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Pengantar Redaksi
Menyambut ulang tahun ke-100 RI pada 2045, harian Kompas yang akan berulang tahun ke-55 pada 28 Juni 2020 menyelenggarakan diskusi menuju Indonesia Emas. Laporan berikut adalah hasil diskusi ketiga pada pertengahan Maret lalu dengan topik ekonomi. Para panelis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014 Emil Salim, Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri, Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2016-2019 Ignasius Jonan, ekonom senior CORE Indonesia Hendri Saparini, serta Rektor IPB University Arif Satria. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, M Fajar Marta, Mukhamad Kurniawan, Albertus Hendriyo Widi Ismanto, dan Aris Prasetyo, serta disajikan pada halaman 13 dan Kompas.id.
Tidak ada satu pun yang menduga, dunia akan terkena pandemi Covid-19. Hanya sangat sedikit yang betul-betul siap menangani pandemi ini. Dari sisi ekonomi, semua negara bersiap menghadapi perlambatan, dan mungkin resesi.
Menteri Keuangan dan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ekonomi Indonesia tumbuh hanya 2,3 persen tahun ini dan dalam situasi terburuk terkontraksi menjadi minus 0,4 persen. Hal tersebut terjadi jika perdagangan dunia mampat, investasi turun, penerimaan negara dari pajak anjlok, dan konsumsi rumah tangga sebagai motor ekonomi turun drastis.
Guna menangkal situasi terburuk, pemerintah menyiapkan stimulus Rp 405,1 triliun untuk membantu kelompok masyarakat rentan, dunia usaha, serta anggaran mengatasi pandemi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 membuka batas defisit anggaran lebih dari 3 persen dari produk domestik bruto hingga 2022.
Pemerintah menyiapkan stimulus Rp 405,1 triliun untuk membantu kelompok masyarakat rentan, dunia usaha, serta anggaran mengatasi pandemi.
Pandemi Covid-19 berpotensi merenggut kesempatan terbatas meraih Indonesia Emas 2045, yang seperti dinyatakan Presiden Joko Widodo, menjadi negara maju berpendapatan tinggi. Tanpa pandemi Covid-19 pun, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata 5 persen dianggap tidak cukup menjadikan Indonesia masuk kelompok negara kaya pada 2045.
Pandemi menuntut kerja lebih cepat dan terfokus, menarik investasi langsung untuk membiayai defisit transaksi berjalan yang belum terselesaikan hingga kini. Untuk membiayai pembangunan harus diciptakan sumber baru selain perbankan, antara lain mendorong sumber keuangan stabil jangka panjang, seperti asuransi, dana pensiun, dan tabungan haji, ke pasar keuangan serta mengalihkan tabungan masyarakat dari properti ke sektor keuangan.
Tumbuh lebih cepat
Ekonomi Indonesia harus tumbuh lebih tinggi, berkisar 7-8 persen, dan lebih cepat diwujudkan. Saat ini, Indonesia mendapat bonus demografi, penduduk usia muda jauh lebih besar dari penduduk usia tua. Bonus demografi mencapai puncak pada 2030-2032 dan pada 2050 penduduk memasuki periode menua. Jika gagal memanfaatkan bonus demografi, penduduk Indonesia akan menjadi tua sebelum kaya.
Penduduk usia muda yang produktif, berketerampilan, dan dapat melahirkan inovasi adalah motor pertumbuhan. Penduduk usia muda dan produktif diharapkan menabung di instrumen keuangan dalam negeri sehingga menjadi sumber pembiayaan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kenyataannya, produktivitas Indonesia rendah apabila diukur memakai rasio antara investasi dan pertumbuhan ekonomi (ICOR).
Untuk setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen, saat ini dibutuhkan investasi 6,4 persen dari PDB. Hal ini disebabkan, antara lain, Indonesia tengah membangun infrastruktur fisik besar-besaran yang hasilnya baru dinikmati 10-15 tahun lagi. Apabila ekonomi ditargetkan tumbuh 6 persen, investasi yang dibutuhkan sekitar 40 persen dari PDB. Padahal, tabungan Indonesia saat ini 34 persen PDB sehingga dibutuhkan tambahan investasi 6 persen.
Masalah kronis lain, ketimpangan kesejahteraan antara wilayah bagian barat dan timur Indonesia, Jawa-Sumatera dan pulau-pulau lain, desa-kota, antarpekerjaan, dan antarjender. Data menunjukkan, makin tinggi pendapatan per kapita suatu wilayah, makin tinggi ketimpangan kemakmuran. Pada saat yang sama, Indonesia juga mengalami kerusakan lingkungan parah, terutama di Jawa.
Ekonomi baru
Untuk tumbuh berkelanjutan dan inklusif, Indonesia memerlukan institusi yang menjamin kebijakan jangka panjang dilaksanakan konsisten dan transparan.
Demokrasi dapat menjadi landasan setiap orang mendapat kesempatan berusaha yang sama, sepanjang institusi demokrasi bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Untuk menarik investasi langsung, Indonesia harus dapat menyelesaikan hubungan pusat dan daerah dan membangun sistem politik yang mencegah orang bertindak jangka pendek ketika biaya politik mengikuti pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif begitu mahal.
Struktur ekonomi juga harus berubah, dari mengandalkan sumber daya alam menuju industrialisasi yang meningkatkan nilai tambah sumber daya alam lokal di darat dan laut yang belum banyak terjamah. Begitu pula sumber energi, yang sampai tahun 2045 diperkirakan masih akan didominasi energi fosil. Semuanya bukan resep baru. Sayangnya, Indonesia tidak konsisten melaksanakan, terutama setelah krisis keuangan Asia 1998.
Meski demikian, tetap ada harapan meraih kemakmuran dengan menguasai teknologi. Bioteknologi dan internet melahirkan ekonomi baru bernilai tambah tinggi. Alam tropis Indonesia dan kekayaan hayatinya adalah bahan rekayasa genetika. Indonesia memiliki sejumlah contoh pemanfaatan internet untuk membuat ekonomi lebih inklusif melalui keuangan digital dan e-dagang.
Keberhasilan negara-negara-negara kaya adalah menciptakan nilai tambah yang akan makmur. Yang mengandalkan sumber daya alam, terutama tambang, akan tertinggal. Menghadapi perubahan global yang begitu cepat, Indonesia harus mampu menciptakan model pembangunan sendiri yang mandiri, yang sesuai dengan karakter masyarakat dan alam Indonesia, serta mengakomodasi keberagaman tiap-tiap wilayah.