Batasi Transportasi untuk Putus Rantai Penularan Covid-19
Moda transportasi dinilai menjadi media yang berperan pada penularan Covid-19. Oleh karena itu, pembatasan di sektor transportasi perlu ditempuh untuk mengurangi pergerakan orang, khususnya di daerah episentrum.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu upaya memutus rantai penularan Covid-19 adalah dengan mengurangi pergerakan orang. Caranya antara lain melalui pembatasan di sektor transportasi. Pembatasan sosial berskala besar akan diberlakukan melalui prosedur.
”Karena salah satu media penyebaran (Covid-19) melalui transportasi, kami mengantisipasi lebih dahulu—terutama kepada pemangku kepentingan transportasi di Jabodetabek—untuk menyiapkan langkah-langkah strategis,” kata Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti, di Jakarta, Minggu (5/4/2020).
Terkait hal itu, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pada 1 April 2020 mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Penggunaan Moda Transportasi untuk Mengurangi Pergerakan Orang dari dan ke Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Selama Masa Pandemi Covid-19.
Polana mengatakan hal tersebut pada diskusi dalam jaringan bertajuk ”Pembatasan Akses Transportasi Umum di Jabodetabek, Perlukah?” Diskusi dimoderatori Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas.
Menurut Polana, melalui surat edaran tersebut, pihaknya membuat rekomendasi yang cukup kaku terkait pembatasan prasarana dan sarana. Salah satu upaya mengurangi pergerakan adalah mengurangi aktivitas di daerah.
”Kami membuat itu karena berdasarkan hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, terhadap hampir 43.000 responden yang antara lain 56 persen tidak mudik, 37 persen belum mudik, dan ingin mudik 7 persen,” kata Polana.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, DKI Jakarta memiliki harapan besar terhadap upaya bersama mengatasi penyebaran wabah Covid-19.
Hal itu karena PP No 21/2020 menyebut secara jelas bahwa setelah ada penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bisa dilakukan pembatasan pergerakan orang dan atau barang.
”Kami mengharapkan ada turunan PP yang diterjemahkan ke skala operasional. Tapi, begitu muncul peraturan menteri kesehatan (permenkes), justru yang terjadi adalah permenkes itu melegalisasi apa yang sudah dilakukan oleh Jakarta,” kata Syafrin.
Lebih lanjut Syafrin mengatakan, disebutkan bahwa pembatasan di sektor transportasi dikecualikan bagi angkutan orang umum ataupun pribadi dengan pembatasan jumlah penumpang. Kemudian angkutan barang. ”Artinya, di permenkes ini tidak ada yang baru. Jakarta itu sudah melakukan pembatasan,” katanya.
Jakarta sudah melaksanakan pembatasan waktu layanan Transjakarta yang awalnya 24 jam menjadi 14 jam. Rutenya pun dibatasi dari 248 rute menjadi 50 rute. Bahkan, kata Syafrin, dari 3.900 bus, 3.350 bus di antaranya dihentikan operasinya.
Begitu juga untuk kapasitasnya, jumlah penumpang dibatasi. Bus Transjakarta yang harusnya berkapasitas 150 penumpang, maksimal diisi 60 penumpang. Sementara bus yang biasanya berkapasitas 86 penumpang kini hanya diisi maksimal 30 penumpang.
”Begitu juga MRT (angkutan/transportasi massal cepat), dari 18 jam, sekarang beroperasi tinggal 14 jam dengan kapasitas diturunkan drastis dari 1.200 penumpang sekali jalan menjadi 360 penumpang per rangkaian kereta. Per gerbong kami hanya mampu memberikan izin 60 penumpang,” katanya.
LRT (kereta ringan) pun demikian. LRT yang biasanya beroperasi 17 jam, kini tinggal 14 jam, dengan kapasitas dibatasi dari 270 penumpang per rangkaian menjadi 80 penumpang. ”Buat Jakarta, seolah-olah permenkes ini hanya sebagai alat melegalisasi apa yang sudah dijalankan oleh Jakarta selama ini,” katanya.
Syafrin menuturkan, pihaknya masih menunggu penetapan PSBB dari Menteri Kesehatan. ”Kami harapkan setelah ada penetapan PSBB, juga harusnya diiringi petunjuk teknis dari Menteri Perhubungan, apa yang dimaksud Menteri Kesehatan dalam permenkes terkait pembatasan pergerakan orang di angkutan umum ataupun kendaraan pribadi,” katanya.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat, Ateng Aryono menambahkan, dilema operasional saat ini dialami pelaku industri transportasi angkutan barang, logistik, ataupun penumpang pada masa pandemi Covid-19. Mereka selama ini mengalami penurunan omzet.
”Kami mengalami dilema operasional. Kenapa? Transportasi disebutkan sebagai sesuatu yang berpotensi menjadi media penyebaran. Kami sadar hal ini memang rawan sekali. Tetapi dilematis bagi kami untuk melakukan atau tidak melakukan. Posisinya sekarang; kami boleh jalan, tapi permintaan jauh menurun,” kata Ateng.