Waspadai Risiko Kepemilikan Asing di Surat Utang Pemerintah
Dominasi kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah patut diwaspadai karena rentan terhadap hengkangya modal secara tiba-tiba. Risiko mesti diantisipasi dengan mengutamakan penerbitan surat utang domestik.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelebaran defisit anggaran dinilai cukup berisiko karena dominasi kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah. Risiko kepemilikan asing mesti diantisipasi dengan mengutamakan penerbitan surat utang domestik berdenominasi rupiah.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam, Jumat (10/4/2020), berpendapat, pemerintah masih mengandalkan penerbitan surat utang sebagai sumber pembiayaan defisit APBN 2020. Namun, penerbitan surat utang masih bergantung pada investor asing, yakni 35-40 persen. ”Kalau merujuk struktur kepemilikan asing di surat utang Pemerintah Jepang, tak lebih dari 10 persen, Indonesia relatif tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per Januari 2020, porsi kepemilikan asing mencapai 38 persen atau Rp 1.080 triliun dari total outstanding surat utang Pemerintah Indonesia sekitar Rp 2.700 triliun.
Kepemilikan investor asing pada surat utang Pemerintah Indonesia bahkan lebih tinggi ketimbang sejumlah negara, seperti Thailand, Malaysia, atau China. Tingginya porsi investor asing membuat struktur pembiayaan anggaran sangat rentan terhadap hengkangnya modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow).
Menurut Piter, sudden capital outflow baru dialami Indonesia pada Februari-Maret 2020. Arus modal asing keluar dari pasar surat utang pemerintah mencapai Rp 145 triliun. Kondisi itu mengakibatkan imbal hasil surat utang pemerintah meningkat dan beban biaya penerbitan surat utang di masa depan juga lebih besar.
Di tengah pandemi Covid-19 dan risiko krisis ekonomi, sudden capital outflow akan mendorong pelemahan nilai tukar rupiah. Karena itu, kata Piter, pemerintah perlu mengutamakan penerbitan surat utang domestik berdenominasi rupiah.
Sentimen pasar keuangan global saat ini masih sangat negatif sehingga minat pembeli sangat rendah. Di sisi lain, penerbitan surat utang global akan memaksa pemerintah meningkatkan bunga kupon dan atau memperpanjang tenor.
”Penerbitan surat utang domestik melalui skema pembelian oleh Bank Indonesia memungkinkan pemerintah untuk menetapkan bunga kupon yang lebih rendah dengan tenor wajar,” kata Piter.
Wewenang baru BI untuk dapat membeli surat utang pemerintah di pasar perdana akan mengurangi beban pembayaran bunga surat utang. Ekspansi moneter melalui pembelian surat utang domestik oleh BI tidak akan mendorong peningkatan inflasi yang signifikan karena rendahnya permintaan di tengah pandemi Covid-19.
Dihubungi terpisah, Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Samual, menekankan, penerbitan obligasi global oleh pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan daya serap pasar yang rendah dan ketatnya likuditas global akibat pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah perlu mendorong sumber pembiayaan selain dari surat utang global. “Yang penting dalam kondisi saat ini adalah sumber pendanaan berimbang,” kata David.
Pada tahun 2020, pemerintah meningkatkan proyeksi pembiayaan defisit APBN dari Rp 307,2 triliun menjadi Rp 852,9 triliun. Sumber pembiayaan dari penerbitan surat utang negara melonjak dari Rp 351,8 triliun menjadi Rp 1.006 triliun, sementara pinjaman meningkat dari Rp 5,2 triliun menjadi Rp 5,8 triliun.
Defisit APBN 2020 diproyesikan melebar menjadi 5,07 persen dari target awal 1,76 persen produk domestik bruto.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman yang dimintai konfirmasi mengatakan, strategi pembiayaan defisit APBN bersifat fleksibel dan oportunistik Sejauh ini belum ada rencana untuk mengurangi investor asing dalam kepemilikan surat utang pemerintah.
Luky menambahkan, pembiayaan defisit APBN melalui penerbitan surat utang yang dapat dibeli BI adalah opsi terakhir atau bersifat last resort/back drop. Kementerian Keuangan dan BI saat ini tengah melakukan pembahasan lebih lanjut mengenai strategi dan mekanisme pembiayaan baru tersebut.
“Pembiayaan anggaran dalam jangka pendek akan mengandalkan Saldo Anggaran Leih (SAL), yang per awal 2020 sekitar Rp 136 triliun. Pemanfaatan SAL akan didukung permintaan dari investor domestik dan penjualan surat utang melalui skema private placement,” ujar Luky.