BI: Kinerja Sektor Manufaktur Terkontraksi akibat Pandemi
Kinerja manufaktur tiga bulan pertama pada tahun ini mengalami kontraksi. Pandemi Covid-19 yang terus berlanjut membuat kinerja manufaktur diproyeksi berlanjut pada tiga bulan kedua tahun ini.
Oleh
dimas waraditya nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja sektor industri pengolahan atau manufaktur sepanjang triwulan I-2020 turun dibandingkan dengan triwulan IV-2019. Kinerja negatif ini merupakan imbas dari penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat pandemi Covid-19.
Penurunan kinerja industri manufaktur tecermin dari indeks manufaktur cepat (prompt manufacturing index/PMI) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) pada Senin (13/4/2020). Indeks ini menjadi indikator gambaran umum mengenai kondisi sektor manufaktur terkini serta perkiraan triwulan mendatang.
Penghitungan indeks ini terdiri dari lima komponen, yakni volume pesanan barang input, volume produksi (output), ketenagakerjaan, waktu pengiriman dari pemasok, dan inventori.
PMI-BI pada triwulan I-2020 tercatat 45,64 persen. Indeks ini mengalami kontraksi dari triwulan IV-2019 sebesar 51,5 persen. PMI-BI mengunakan ambang batas 50, di atas angka tersebut menunjukkan ekspansi, sebaliknya di bawah 50 menunjukkan kontraksi. Berdasarkan jenis komponennya, penurunan kinerja tersebut disebabkan kontraksi yang terjadi pada kelima komponen yang ada.
”Kontraksi yang dialami kelima komponen ini dipengaruhi penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat mewabahnya Covid-19 yang terjadi, baik di global maupun di Indonesia di awal 2020,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam siaran pers.
Kontraksi yang dialami kelima komponen ini dipengaruhi penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat mewabahnya Covid-19 yang terjadi, baik di global maupun di Indonesia di awal 2020.
Secara terperinci, volume produksi pada triwulan I-2020 tercatat mengalami kontraksi dengan indeks sebesar 43,1 persen. Adapun volume pesanan barang input juga tercatat berada di fase kontraksi dengan indeks sebesar 47,28 persen atau lebih rendah dari triwulan IV-2020 sebesar 53,27 persen.
Ini menjadi kali pertama kedua komponen ini berada pada kontraksi setelah sejak awal tahun 2018 tercatat ekspansif.
Berdasarkan subsektor, hampir seluruh subsektor mengalami kontraksi kecuali industri makanan, minuman, dan tembakau. Pada triwulan I-2020, indeks subsektor makanan, minuman, dan tembakau berada pada level 50,44 persen.
Fase kontraksi diproyeksi masih membayangi kinerja industri pengolahan pada triwulan II-2020 meskipun tidak seburuk triwulan sebelumnya, didorong oleh prakiraan ekspansi volume pesanan barang input dan volume persediaan mengantisipasi prakiraan membaiknya permintaan pada triwulan III-2020.
PMI Bank Indonesia pada triwulan II-2020 diprakirakan 48,79 persen, meningkat dari 45,64 persen pada triwulan I-2020. Perbaikan terutama disebabkan ekspansi volume pesanan barang input dan volume persediaan barang jadi. Sementara itu, volume produksi dan penggunaan tenaga kerja juga membaik meskipun kedua komponen tersebut masih berada pada fase kontraksi.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, beberapa industri mengalami penurunan kapasitas produksi hampir 50 persen, kecuali industri-industri alat-alat kesehatan dan obat-obatan.
”Kami tetap mendorong industri bisa beroperasi seperti biasanya, tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat sehingga terhindar dari wabah Covid-19,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, pasokan bahan baku yang terbatas dari China berimbas pada produksi sektor manufaktur yang tersendat. Data Kementerian Perindustrian mencatat, 30 persen bahan baku yang dibutuhkan industri dalam negeri berasal dari China.
Kendati China kini mulai bangkit dari keterpurukan akibat penyebaran virus korona, belum pulihnya rantai dagang antara Indonesia dan China membuat industri pengolahan Indonesia turut terpukul. Impor asal China utamanya berupa bahan baku industri ataupun barang jadi.
Terhambatnya pasokan bahan baku industri dari China itu memengaruhi produksi dalam negeri. Kapasitas produksi bisa berkurang dan kenaikan harga akibat kurangnya bahan baku. Dampak lanjutan pengurangan kapasitas produksi bisa membuat perusahaan melakukan efisiensi dengan pengurangan karyawan.
Kenaikan harga bahan baku juga dipicu karena ongkos logistik yang meningkat lantaran sejumlah akses pelabuhan tertutup. Perusahaan bisa saja membeli pasokan, tetapi ketersediaannya terbatas. Perusahaan juga tidak bisa menaikkan harga karena rentan kehilangan daya beli masyarakat.
Di sektor perdagangan, China tercatat sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia serta negara asal impor dan tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Besarnya impor nonmigas China ke Indonesia pada Januari 2020 tercatat sebesar 3,9 miliar dollar AS. Tahun 2019, besaran impor nonmigas dari China tercatat 44,58 miliar dollar AS atau sekitar 26,11 persen dari total impor Indonesia.