Ini Tiga Skenario Lonjakan Penganggur, Terburuk Bisa Capai 16,4 Juta Orang
CORE Indonesia menyusun tiga skenario prediksi lonjakan jumlah penganggur terbuka pada April-Juni 2020. Skenario paling buruk, angka pengangguran diprediksi bisa melonjak sampai 16,4 juta orang pada tahun ini.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka pengangguran akibat dampak pandemi Covid-19 paling buruk diprediksi bisa melonjak sampai 16,4 juta orang tahun ini. Pemerintah harus mewaspadai pembengkakan angka pengangguran itu dengan segera menerapkan program bantuan sosial secara cepat, tetapi tepat sasaran. Bantuan sosial yang lebih relevan untuk kebutuhan masyarakat dalam bentuk tunai perlu ditingkatkan.
Badan Pusat Statistik mencatat, per Agustus 2019, jumlah penganggur terbuka tercatat 7,05 juta orang. Dengan melihat perkembangan dampak ekonomi dari Covid-19, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia pada Rabu (15/4/2020), menyusun tiga skenario untuk memprediksi lonjakan jumlah penganggur terbuka pada April-Juni 2020 atau triwulan II-2020.
Skenario ringan memprediksi jumlah penganggur terbuka akan bertambah 4,25 juta orang, atau berarti angka pengangguran pada triwulan kedua tahun ini akan mencapai 11,3 juta orang. Skenario ringan dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran Covid-19 akan semakin luas pada Mei 2020, tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak berdampak luas.
Skenario sedang memprediksi jumlah penganggur bertambah 6,68 juta orang. Dengan demikian, skenario ini memprediksi angka pengangguran akan mencapai 13,73 juta orang tahun ini. Skenario sedang ini mengacu pada asumsi bahwa penyebaran Covid-19 lebih luas dan kebijakan PSBB mulai diberlakukan lebih luas di banyak wilayah di Pulau Jawa dan beberapa kota di luar Pulau Jawa.
Sedangkan, skenario berat memprediksi pengangguran bisa bertambah sampai 9,35 juta orang. Dengan demikian, dalam kondisi terburuk, angka pengangguran terbuka di Indonesia bisa mencapai 16,4 juta orang. Jumlah itu juga belum termasuk 8,14 juta orang yang saat ini sudah setengah menganggur dan 28,41 juta orang pekerja paruh waktu.
Dalam kondisi terburuk, angka pengangguran terbuka di Indonesia bisa mencapai 16,4 juta orang. Jumlah itu juga belum termasuk 8,14 juta orang yang saat ini sudah setengah menganggur dan 28,41 juta orang pekerja paruh waktu.
Skenario itu juga bisa semakin buruk jika mempertimbangkan dampak pandemi ini terhadap hilangnya mata pencarian di sektor informal. Sektor ini memiliki serapan tenaga kerja tertinggi hingga 71,7 juta orang atau 56,7 persen dari total jumlah tenaga kerja. Mayoritas dari mereka bekerja pada usaha berskala mikro dan paling terdampak selama pandemi Covid-19 ini.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, penambahan jumlah penanggur yang signifikan ini bukan hanya karena ada perlambatan laju ekonomi selama pandemi. Faktor perubahan perilaku masyarakat terkait pandemi serta kebijakan pembatasan sosial juga banyak memengaruhi lonjakan angka pengangguran itu.
Angka pengangguran diprediksi semakin tinggi dengan beberapa asumsi. Pertama, situasi pandemi akan lebih buruk pada Mei 2020 dibandingkankan dengan April 2020. Kedua, dampak pandemi Covid-19 akan terasa berbeda pula untuk sektor dan jenis usaha yang berbeda.
”Pekerjaan yang diasumsikan akan mengalami dampak paling parah adalah pekerja lepas harian, usaha mikro dan kecil, dan buruh tidak tetap,” ujarnya.
CORE pun merekomendasikan agar pemerintah bisa segera mengoptimalkan langkah bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak secara ekonomi. Saat ini, sudah ada beberapa program jaring pengaman sosial yang disiapkan pemerintah. Namun, implementasinya belum terasa karena terkendala banyak aspek, mulai dari pendataan hingga penyaluran di lapangan.
Faisal mengatakan, pemerintah saat ini perlu mempercepat distribusi bansos sembari secara simultan juga melengkapi data penerima dengan memadukan antara data pemerintah dan data masyarakat.
”Intervensi bantuan dari pemerintah ini harus tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat bentuk. Artinya, intervensi memang butuh data yang akurat, tetapi diharapkan dalam situasi seperti ini pemerintah tidak menunda terlalu lama distribusinya dengan alasan data kurang lengkap,” katanya.
Untuk memastikan data yang dikumpulkan benar-benar tepat sasaran, pemerintah juga harus terus memperbarui data berdasarkan informasi dari lembaga pemerintah hingga tingkat terkecil masyarakat, selevel RT dan RW.
Faisal mencontohkan, program Kartu Prakerja yang ditujukan untuk para pekerja dan pelaku usaha yang kehilangan pemasukan akibat Covid-19. ”Seharusnya yang diprioritaskan adalah penganggur yang tidak mampu akibat Covid-19 ini, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka,” kata Faisal.
Saat ini, kartu prakerja masih menerapkan skema program bantuan melalui kelas-kelas pelatihan daring serta pemberian insentif kepada para peserta. Rinciannya, tiap peserta mendapat insentif yang ditransfer ke setiap rekening sebesar Rp 600.000 per bulan yang akan diberikan sebanyak empat kali, serta uang Rp 150.000 tambahan untuk biaya pengisian survei.
Sebanyak Rp 1 juta masih ditujukan untuk paket pelatihan yang dipilih sendiri oleh para peserta. Menurut Faisal, anggaran yang awalnya disediakan untuk kelas pelatihan ini seharusnya dialihkan saja untuk menambah insentif tunai bagi para pekerja yang terdampak.
”Peningkatan jumlah penganggur saat ini terjadi akibat turunnya permintaan tenaga kerja karena ekonomi yang melambat, bukan karena persoalan kualitas tenaga kerja. Sehingga, solusinya bukan peningkatan skill, tetapi harus dijadikan sebagai insentif memenuhi biaya hidup,” katanya.
Terkait ini, Direktur Kemitraan Komite Kartu Prakerja Panji W Ruky mengatakan, program tersebut memang diarahkan untuk kepentingan jangka panjang membenahi kualitas SDM. ”Justru ketika banyak pekerja kita yang saat ini dirumahkan dan tidak bekerja, ini waktu yang tepat untuk kita berpikir tidak hanya dalam jangka pendek, tapi dalam gambaran lebih luas lagi,” katanya.
Ia juga menambahkan, kartu prakerja hanya salah satu dari program pemeirntah untuk menanggapi dampak Covid-19. Masih ada program-program lain, seperti Program Keluarga Harapan, Kartu sembako, bantuan sosial dari pemerintah daerah, keringanan pajak, keringanan listrik, dan lain sebagainya, yang secara total mencapai Rp 405 triliun.
”Kartu prakerja ini hanya Rp 20 triliun nilainya, kurang dari 5 persen dari total anggaran yang disediakan pemerintah itu. Jadi, prakerja bukan satu-satunnya solusi untuk menangani kehilangan daya beli dan kekurangan pendapatan,” kata Panji.