Neraca Perdagangan Surplus, tetapi Waspadai Industri
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Maret 2020 surplus 2,619 miliar dollar AS. Meski surplus, ada kekhawatiran karena impor bahan baku/penolong dan barang modal turun. Sebaliknya, impor barang konsumsi naik.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian global, kinerja perdagangan Indonesia pada Maret 2020 membukukan surplus 743,5 juta dollar AS. Namun, capaian itu tetap perlu diwaspadai. Sebab, penurunan impor bahan baku dan barang modal selama triwulan pertama tahun ini bisa memengaruhi kinerja industri dan pencapaian ekspor dalam beberapa bulan mendatang.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, dalam konferensi pers secara dalam jaringan, Rabu (15/4/2020), memaparkan, neraca perdagangan pada Maret 2020 surplus 743,5 juta dollar AS. Dengan demikian, pada triwulan I-2020 atau Januari-Maret 2020, neraca perdagangan yang surplus 2,619 miliar dollar AS lebih baik dibandingkan dengan triwulan I-2019 yang defisit 62,8 juta dollar AS.
Suhariyanto memaparkan, kondisi neraca perdagangan yang surplus pada Maret 2020 ini dipicu kinerja ekspor yang lebih baik daripada impor. Ekspor pada Maret 2020 senilai 14,09 miliar dollar AS atau meningkat 0,23 persen dibandingkan dengan Februari 2020, tetapi turun 0,20 persen dibandingkan dengan Maret 2019.
Sementara itu, impor Indonesia pada Maret 2020 senilai 13,35 miliar dollar AS atau naik 15,6 persen dibandingkan dengan Februari 2020, tetapi turun 0,75 persen daripada Maret 2019.
Suhariyanto menambahkan, kendati neraca perdagangan surplus, pemerintah tetap perlu mewaspadai tren pada komponen impor. Sebab, selama triwulan I-2020, impor barang konsumsi naik. Sebaliknya, impor barang modal dan bahan baku/penolong turun secara tahunan.
Pada Januari-Maret 2020, impor bahan baku turun 2,82 persen dibandingkan dengan Januari-Maret 2019. Adapun impor barang modal turun 13,07 persen. Sebaliknya, impor barang konsumsi pada triwulan I-2020 naik 7,11 persen dibandingkan dengan triwulan I-2019.
Kondisi ini mengkhawatirkan karena kinerja industri dan produksi bergantung pada ketersediaan bahan baku dan barang modal yang diimpor. Pada Januari-Maret 2020, dari impor yang senilai 39,166 miliar dollar AS, 75,86 persen di antaranya berupa bahan baku dan bahan penolong. Adapun 14,97 persen di antaranya berupa barang modal dan 9,23 persen berupa barang konsumsi.
”Kondisi ini kemungkinan akan berpengaruh terhadap sektor industri dan perdagangan kita,” katanya.
Suhariyanto menambahkan, Indonesia tidak bisa terlalu berharap pada permintaan ekspor dari China. Sebab, meski China masih menjadi negara tujuan ekspor pertama Indonesia selama Maret 2020, kondisi pada masa mendatang yang tidak menentu bisa dengan cepat mengubah situasi.
Oleh karena itu, ujarnya, kinerja neraca perdagangan pada triwulan II-2020 perlu diantisipasi. ”Memang recovery ekonomi China ini terhitung cepat. Akan tetapi, ingat, China juga masih mengantisipasi gelombang kedua Covid-19 saat ini,” kata Suhariyanto.
Secara terpisah, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan, surplus neraca perdagangan bisa mendorong fundamen perekonomian domestik menjadi lebih kuat. Setidaknya, devisa dari perdagangan bisa membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Meski demikian, impor bahan baku dan barang modal yang menurun selama triwulan I-2020 merupakan alarm terhadap kegiatan industri dalam negeri.
Enny menyoroti, kinerja ekspor sebenarnya tidak berkesinambungan karena umumnya mengandalkan harga serta permintaan emas dan batubara. Dengan penurunan pasokan dan impor bahan baku serta barang modal selama triwulan I-2020, kinerja produksi akan jatuh. Kondisi itu akan menekan pencapaian ekspor nonmigas.
”Kalau yang menurun impor konsumsi, kita bisa lumayan bersenang hati karena tidak banyak membantu kinerja industri dan ekspor. Akan tetapi, jika kita melihat impor bahan baku dan barang modal yang menurun, hal ini mengkhawatirkan,” kata Enny.
Impor bahan baku dan barang modal yang menurun selama triwulan I-2020 merupakan alarm terhadap kegiatan industri dalam negeri.
Enny memperkirakan, dalam beberapa bulan mendatang, khususnya sepanjang triwulan II, industri akan tumbuh di bawah 3 persen. Hal ini merupakan dampak pandemi Covid-19 yang tidak hanya mempersulit pasokan impor bahan baku untuk produksi, tetapi juga membuat macet roda produksi akibat kebijakan pembatasan sosial.
Pandemi ini, ujar Enny, tidak hanya mengganggu industri manufaktur berbahan baku impor, tetapi juga yang tidak berbahan baku impor. Demi menekan laju penyebaran virus Covid-19, sejumlah pabrik terpaksa menutup produksi dan merumahkan karyawan.
”Triwulan II-2020 akan menunjukkan tren pertumbuhan industri yang menurun. Kondisi ini berbahaya karena kita tidak hanya bicara angka di neraca perdagangan, tapi juga bicara urusan domestik, potensi PHK, dan pengangguran yang akan terjadi ketika roda industri semakin macet di tengah pandemi,” kata Enny.