Perkecil Risiko akibat Pandemi Covid-19, Insentif Pajak Diperluas
Pemerintah berupaya memperkecil risiko bisnis akibat pandemi Covid-19. Caranya dengan memperluas sektor yang menerima insentif pajak.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memperluas sektor usaha penerima insentif pajak. Tujuannya memperkecil risiko gelombang pemutusan hubungan kerja akibat bisnis yang anjlok atau bangkrut.
Saat ini berbagai sektor industri sudah terpukul dampak pandemi Covid-19. Pukulan tak hanya mengenai perusahaan, tetapi juga merambat ke pelaku usaha sektor formal dan nonformal, pekerja, serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Setidaknya sekitar 1,5 juta pekerja sudah dirumahkan dan dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ada 11 sektor usaha baru yang akan menerima insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) karyawan ditanggung pemerintah untuk penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun, pembebasan PPh impor, pengurangan PPh badan sebesar 30 persen, dan percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
”Perluasan penerima insentif dibutuhkan untuk menstimulasi sektor-sektor usaha yang mengalami pukulan sangat besar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers virtual, Jumat (17/4/2020), di Jakarta.
Sebelas sektor usaha baru yang menerima insentif pajak itu adalah sektor pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan hortikultura; perdagangan bebas dan eceran; ketenagalistikan dan energi baru terbarukan; minyak dan gas bumi; serta pertambangan, mineral, dan batubara. Sektor berikutnya adalah kehutanan; pariwisata dan ekonomi kreatif; sektor telekomunikasi dan penyelenggara jasa internet; logistik; jasa transportasi darat, laut, dan udara; serta jasa konstruksi.
Sebelumnya, pemerintah sudah memberikan empat jenis insentif pajak serupa untuk sektor manufaktur yang diperkirakan senilai 22,92 triliun. Adapun estimasi insentif pajak untuk perluasan sektor usaha masih dihitung.
Sri Mulyani menambahkan, pandemi Covid-19 mengguncang perekonomian sehingga memengaruhi kegiatan dunia usaha. APBN akan diarahkan untuk meredam guncangan agar bisnis tidak bangkrut dan pemutusan hubungan kerja yang masif bisa dihindari. Suntikan stimulus diharapkan mampu meningkatkan daya tahan bisnis.
”Stimulus akan diberikan seiring dengan perkembangan kondisi ekonomi masyarakat, sosial, dan kesehatan,” katanya.
Tekanan terhadap dunia usaha tecermin dari penerimaan PPh karyawan dan PPh badan. Realisasi PPh karyawan per Maret 2020 sebesar Rp 36,58 triliun atau tumbuh 4,94 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan Maret 2019 yang sekitar 14,7 persen secara tahunan. Adapun realisasi PPh badan sebesar Rp 34,54 triliun atau turun 13,56 persen.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menambahkan, skema pemberian insentif pajak akan diatur lebih teknis dan rinci dalam peraturan Menteri Keuangan. Sebelas sektor usaha baru penerima insentif pajak itu terdiri atas 639 klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI).
Secara keseluruhan, realisasi penerimaan perpajakan pada Maret 2020 sebesar Rp 279,9 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak Rp 241,6 triliun dan bea cukai Rp 38,3 triliun. Penerimaan pajak pada Maret 2020 turun 2,5 persen secara tahunan. Pada Maret 2019, penerimaan pajak tumbuh 1,3 persen secara tahunan.
Peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, berpendapat, pandemi Covid-19 berdampak ganda bagi penerimaan. Realisasi penerimaan pajak akan melemah akibat pembatasan kegiatan ekonomi dan sosial, ditambah penurunan harga komoditas global dan perlemahan konsumsi rumah tangga.
Di sisi lain, upaya penanganan Covid-19 mengharuskan pemerintah mengambil kebijakan fiskal yang ekspansif, salah satunya dengan memberikan insentif dan relaksasi pajak. Perluasan sektor penerima insentif pajak pasti akan meningkatkan belanja pajak pemerintah sekaligus menggerus potensi penerimaan pajak.
Prospek ekonomi
Sri Mulyani memaparkan, pandemi Covid-19 memukul perekonomian Indonesia sejak minggu kedua Maret 2020. ”Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2020 diproyeksikan berkisar 4,5-4,6 persen. Ekonomi masih tumbuh positif kendati melambat karena dampak Covid-19 baru terasa pada awal Maret,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah mewaspadai dampak pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi akibat Covid-19 pada triwulan II-2020. Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 mendekati nol persen, bahkan bisa negatif.
Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 mendekati nol persen, bahkan bisa negatif.
Sementara itu, dalam konferensi pers di Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional-Bank Dunia yang digelar virtual di Washington DC, Amerika Serikat, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Changyong Rhee menilai, Indonesia cukup proaktif meluncurkan berbagai program dan kebijakan penanganan Covid-19. Bank Indonesia menerbitkan cukup banyak kebijakan relaksasi, sedangkan pemerintah memperbesar ruang fiskal untuk penanganan Covid-19.
”Kebijakan yang ditempuh Indonesia ada di jalur yang tepat. Namun, pemulihan ekonomi yang diasumsikan berbentuk V atau V shape belum tentu terjadi,” kata Rhee menjawab pertanyaan Kompas secara tertulis, Kamis (16/4/2020) malam WIB.
Dalam proyeksi ekonomi global yang dirilis Selasa (14/4/2020) malam WIB, IMF menyebutkan, perekonomian Indonesia pada 2020 akan tumbuh 0,5 persen. Indonesia akan mengalami pemulihan ekonomi cukup kuat pada 2021 menjadi 8,2 persen.