Ikut Program Kartu Prakerja, Peserta Berharap Bisa Mendapat Pekerjaan
Korban PHK berharap program Kartu Prakerja bisa menjamin mereka mendapat pekerjaan kembali. Di sisi lain, ketersediaan lapangan kerja sangat terbatas di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja atau tidak dapat lagi menjalankan usaha mikronya di tengah pandemi Covid-19, program Kartu Prakerja menjadi harapan untuk bertahan hidup. Tak hanya itu, sertifikat kelulusan diharapkan dapat menjadi tiket masuk ke dunia kerja.
Wajar saja jumlah penganggur akibat aktivitas ekonomi yang lesu kini kian melonjak. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, setidaknya ada 1,6 juta pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja hingga 14 April 2020.
Jumlah ini belum termasuk data Badan Pusat Statistik yang per Agustus 2019 mencatat ada sebanyak 7,05 juta penganggur terbuka, 8,14 juta orang setengah menganggur, dan 28,41 juta orang pekerja paruh waktu.
Pemerintah juga telah menyiapkan dua skenario, yakni berat dan berat sekali. Skenario berat memprediksi tambahan jumlah penganggur mencapai 2,9 juta orang. Adapun skenario lebih berat memprediksi penganggur akan menyentuh jumlah 5,2 juta orang (Kompas, 17 April 2020).
Peningkatan jumlah penganggur berjalan beriringan dengan pendaftar program Kartu Prakerja. Ada sebanyak 5,96 juta orang yang mendaftar pada gelombang pertama, melebihi kuota tahunan sebanyak 5,6 juta orang.
Namun, hanya ada 2,08 juta orang terseleksi, bahkan hanya 200.000 orang yang akan menerima manfaat pada gelombang pertama, sementara yang lain harus menunggu pada gelombang berikutnya. Pemerintah pun akan kembali membuka pendaftaran gelombang kedua pada Senin hingga Kamis esok (20-23 April 2020).
Kevin (20), satu dari 5,96 juta pendaftar program Kartu Prakerja, mengaku gembira ketika dinyatakan lolos. Sebab, sudah sekitar tiga minggu ia menjadi penganggur akibat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan media lokal di Jakarta.
”Rencananya saya mau pilih pelatihan jurnalistik untuk menambah skill saya menulis. Saya berharapnya sertifikat yang nanti didapat bisa digunakan untuk melamar kerja,” katanya saat dihubungi Kompas, Minggu (19/4/2020).
Pengalaman berbeda dialami Dimas (23), pendaftar program Kartu Prakerja yang dinyatakan belum berhasil karena gelombang pertama sudah memenuhi kuota. Meski begitu, ia akan tetap mencoba mendaftar di gelombang berikutnya.
Selain karena pemilihan secara acak yang dilakukan pemerintah dalam proses seleksi, Dimas berharap mekanisme program ini bisa lebih menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Menurut dia, pemerintah harus lebih mengklasifikasi korban PHK sesuai dengan latar belakang.
”Pemerintah juga kalau membantu masyarakat, saya harap tidak setengah-setengah. Pelatihan yang saat ini diberikan seharusnya dapat dijamin dengan ketersediaan lapangan kerja. Jangan kemudian sertifikat hanya lembaran kertas yang tidak ada manfaatnya,” tutur Dimas.
Di saat ada yang berlomba menjadi pemegang Kartu Prakerja, ada sebagian lainnya yang bahkan tidak paham bagaimana cara mendaftar dan mekanisme dari program ini. Mereka juga menyatakan lebih butuh bantuan untuk makan ketimbang pelatihan.
Anang (42), buruh pabrik di Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, menyampaikan, bagi korban PHK seperti dirinya, yang paling dibutuhkan saat ini adalah sembako, bukan pelatihan. Ia pun mengaku tidak paham bagaimana cara untuk ikut program Kartu Prakerja.
”Bagaimana mau ikut (Kartu Prakerja), hape saya tidak terlalu canggih, kuota internet juga terbatas. Lagi pula, saat ini yang saya butuhkan adalah sembako untuk bertahan hidup, uang untuk istri dan anak yang tinggal di Lampung,” ujarnya.
Dipaksakan
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat menilai keputusan pemerintah mengeluarkan program Kartu Prakerja dapat dikatakan terlalu dipaksakan. Akibatnya, program ini relatif kurang efektif.
Sebagai contoh, para buruh pabrik garmen di daerah Bekasi yang terkena PHK sebagian besar adalah ibu-ibu yang berusia 30 tahun ke atas. Dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkan mereka bukanlah pelatihan digital, melainkan kebutuhan pokok, yakni sembako.
”Pemerintah seharusnya berfokus pada bantuan sembako secara langsung. Kalau keadaannya begini, masalah berikutnya yang akan muncul adalah kecemburuan sosial karena ada yang mendapat sembako secara langsung, tetapi ada yang harus ikut pelatihan dahulu baru mendapat insentif,” kata Mirah.
Pemerintah, kata Mirah, sebenarnya dapat bekerja sama dengan perusahaan yang mem-PHK karyawan serta dengan Aspek untuk mendata siapa saja dan berapa banyak korban PHK. Dengan begitu, bantuan sosial akan lebih tepat sasaran dan tepat guna.
Peneliti Intitute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, pun menilai penerapan program Kartu Prakerja di tengah pandemi Covid-19 adalah hal yang dipaksakan. Sebab, program ini seharusnya melewati masa uji coba, bukan menjadi solusi mengatasi permasalahan sosial.
”Beberapa sektor ekonomi saat ini, kan, sedang mati suri. Jadi, kalaupun para peserta Kartu Prakerja telah selesai mengikuti pelatihan, jaminan ketersediaan lapangan kerja itu tidak ada. Artinya, hasil dari program ini tidak akan optimal,” tutur Heri.
Meski program kini sudah mulai berjalan, kata Heri, pemerintah dapat tetap melakukan evaluasi. Evaluasi digelar, khususnya, untuk meninjau ulang kurikulum atau pelatihan yang disediakan, yang sebaiknya lebih disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
Untuk diketahui, pemerintah menganggarkan Rp 1 juta bagi setiap pemegang Kartu Prakerja sebagai biaya mengikuti pelatihan digital. Adapun insentif pelatihan selama empat bulan dengan besaran Rp 600.000 per bulan dan biaya mengisi survei sebesar Rp 150.000.
Anggaran pelatihan yang totalnya mencapai Rp 5,6 triliun untuk dibayarkan kepada usaha rintisan (start-up) semestinya dapat digunakan untuk menambah bantuan tunai bagi masyarakat terdampak Covid-19. Pemerintah diharapkan dapat mengkaji ulang penggunaan uang negara.