Pertamina sebaiknya fokus pada bisnis penyediaan energi Indonesia yang sampai hari ini masih bergantung pada impor minyak mentah dan BBM. Lini usaha di luar bisnis inti sebaiknya ditata ulang agar tak menjadi beban.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Rencana Kementerian BUMN memangkas unit usaha juga membidik PT Pertamina (Persero). Sasarannya anak usaha yang bergerak di luar bisnis inti dan tak efisien. Selain memperbaiki arus kas, perampingan juga dilakukan agar tak membebani induk usaha.
Membaca kembali sejarah, Pertamina sempat nyaris bangkrut jika pemerintah pada saat itu tidak turut campur mengatasi persoalan yang dihadapi perusahaan. Perusahaan yang ketika itu dipimpin Ibnu Sutowo disebut menanggung utang 10,5 miliar dollar AS pada 1975.
Pertamina memiliki 26 anak usaha dan 142 unit usaha yang merupakan cucu, cicit, beserta afiliasinya. Dari 26 anak usaha itu, tak semuanya bergerak di sektor inti sebagai perusahaan penyedia energi.
Langkah pemerintah, di antaranya menjual sebagian aset dan membubarkan unit usaha yang tidak efisien, mengeluarkan Pertamina dari ancaman kebangkrutan. Pada 2019, Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan BUMN Indonesia yang masuk dalam Fortune Global 500, yakni 500 perusahaan terbesar di dunia dalam nilai kapitalisasi pasar.
Pemerintah berniat memangkas hingga 70 persen dari 142 perusahaan BUMN berikut anak usahanya yang berjumlah 800 perusahaan. Lewat restrukturisasi, kluster bidang usaha juga akan disusutkan dari 27 kluster bisnis menjadi 14 kluster. Upaya ini diharapkan mendorong efisiensi dan membantu kondisi arus kas perusahaan yang saat ini terkena dampak pandemi Covid-19 (Kompas, 4/4/2020).
Pertamina memiliki 26 anak usaha dan 142 unit usaha yang merupakan cucu, cicit, beserta afiliasinya. Dari 26 anak usaha itu, tak semuanya bergerak di sektor inti sebagai perusahaan penyedia energi. Sebut saja beberapa anak usahanya, seperti PT Patra Jasa (hotel, perkantoran, dan penyewaan properti) atau PT Pertamina Pedeve Indonesia (modal ventura).
Sejauh ini, Pertamina mengusulkan 25 unit usaha untuk dilikuidasi atau didivestasi. Seluruh proses itu ditargetkan tuntas pada 2021. Pertamina menjamin tidak ada karyawan yang akan dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam proses ini.
Niat perampingan layak disambut baik. Beberapa kalangan menyuarakan Pertamina sebaiknya fokus pada bisnis penyediaan energi. Selain itu, apa yang bisa diharapkan pada unit usaha yang tak efisien, tak menguntungkan, dan minim berkontribusi? Apalagi, usahanya jauh dari bisnis inti.
Urusan penyediaan energi di Indonesia bukan hal yang bisa dikerjakan sambil berbisnis bidang lain. Apalagi Indonesia belum keluar dari status sebagai negara pengimpor bersih minyak. Sejak 2004, kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia melampaui kemampuan produksi dalam negeri. Akibatnya, impor menjadi pilihan.
Selain itu, apa yang bisa diharapkan pada unit usaha yang tak efisien, tak menguntungkan, dan minim berkontribusi? Apalagi, usahanya jauh dari bisnis inti.
Dari konsumsi BBM nasional 1,5 juta barel per hari, sekitar 800.000 barel di antaranya dipenuhi dari impor, baik berupa minyak mentah maupun BBM. Adapun kemampuan produksi minyak mentah Indonesia pada 2019 hanya 745.000 barel per hari. Tahun lalu, impor minyak mentah 87 juta barel dan BBM 128,4 juta barel. Kondisi ini menyebabkan defisit pada neraca perdagangan migas Indonesia.
Belum lagi soal elpiji. Tahun lalu, Pertamina mengimpor 5,8 juta ton elpiji atau setara dengan 80 persen dari konsumsi elpiji secara nasional dalam setahun. Jelas, Indonesia masih sangat bergantung pada impor penyediaan BBM dan elpiji.
Fakta lain, dari 128 cekungan hidrokarbon di seluruh Indonesia, baru 20 cekungan yang berproduksi menghasilkan minyak dan gas. Masih ada 16 cekungan yang mengindikasikan sumber daya migas dan 70 cekungan yang sama sekali belum diteliti.
Pertamina sudah berusaha keras mencari ladang minyak di luar negeri. Oleh karena itu, tak salah jika ada yang menyarankan Pertamina sebaiknya fokus dalam usaha penyediaan energi. Urusan lain, serahkan saja kepada yang lebih ahli.