Pandemi Covid-19 memukul sektor usaha. Angka pengangguran meningkat. Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari lebih mendesak daripada pelatihan tanpa jaminan kerja.
Oleh
Agnes Theodora, Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan agar pemerintah mengalihkan anggaran program pelatihan di Kartu Prakerja senilai Rp 5,6 triliun untuk menambah jaring pengaman sosial menguat. Dana itu bisa dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dasar diri sendiri dan keluarga pekerja yang kehilangan pendapatan.
Pekerja serta pelaku usaha mikro dan kecil itu lebih memerlukan uang, bukan pelatihan tanpa jaminan pekerjaan.
Ketua Umum Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih, Minggu (19/4/2020), menyampaikan, yang dibutuhkan pekerja di tengah pandemi Covid-19 adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan itu, antara lain, sembako, perlindungan kesehatan, dan kelanjutan hidup, seperti membayar uang kos dan kontrak rumah bulanan.
Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik pada 2019, rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidup (purchasing power parity) Rp 11,3 juta. Mengacu pada nilai itu, masyarakat mengeluarkan Rp 941.666 per bulan untuk bertahan hidup.
Kenyataannya, tutur Jumisih, pengeluaran per bulan melebihi nilai itu. Pendapatan sesuai upah minimum di DKI Jakarta, yakni Rp 4,2 juta per bulan, sudah pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
”Meski sudah menghemat, upah masih sangat minim, apalagi ketika tidak ada pemasukan lagi,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 16 April 2020, sebanyak 1,94 juta pekerja dirumahkan dan dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), dari sektor formal dan nonformal.
Jumisih menekankan, pekerja kehilangan nafkah bukan karena kompetensi yang kurang, tetapi akibat pandemi yang memukul perekonomian. Pelatihan semakin tidak relevan karena tidak ada jaminan lapangan pekerjaan karena sebagian besar sektor usaha lesu.
Selain itu, kelas pelatihan sulit dilaksanakan karena tidak semua peserta Kartu Prakerja leluasa mengakses internet. Untuk bisa mendapat insentif Rp 600.000 per bulan, peserta harus menyelesaikan kelas pelatihan lebih dulu.
”Tidak ada yang salah dengan kelas pelatihan, tetapi saat ini tidak relevan. Apalagi, sebenarnya ekspektasi kelas pelatihan itu ada peluang kerja. Kalau ada pelatihan, tetapi lapangan pekerjaan tidak tersedia, tentu jadi tidak aplikatif,” katanya.
Jumisih berharap pemerintah mengubah program Kartu Prakerja agar sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi masyarakat saat ini. Pekerja, ujarnya, perlu memenuhi kebutuhan dasar. Insentif Rp 600.000 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama pandemi, khususnya yang anggota keluarganya banyak.
”Tentu saja kami masih punya harapan pemerintah akan berubah pikiran karena bukannya pemerintah menggelontorkan anggaran ini sebagai bentuk kepedulian dan bantuan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan?” tambah Jumisih.
Program Kartu Prakerja memberi paket manfaat bagi pesertanya senilai Rp 3,55 juta, yang Rp 1 juta di antaranya berupa bantuan untuk membayar pelatihan. Adapun kelas pelatihan diselenggarakan platform digital sebagai mitra pelaksana program.
Insentif ditransfer melalui rekening bank atau dompet elektronik milik peserta. Insentif terdiri atas dua bagian, yaitu Rp 600.000 yang diberikan setelah menuntaskan pelatihan pertama dan diberikan selama empat bulan sehingga bernilai total Rp 2,4 juta.
Sebelumnya, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah mengusulkan agar insentif ditambah dan pelatihan ditunda. Sementara, Ombudsman RI khawatir potensi pemborosan anggaran yang tidak efektif jika uang negara dikucurkan kepada perusahaan mitra penyelenggara pelatihan di tengah pandemi Covid-19 ini.
Situasi tak normal
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Akhmad Akbar Susamto berpendapat, konsep Kartu Prakerja lebih tepat diterapkan dalam situasi normal, bukan ketika pandemi Covid-19. Sebab, dalam situasi seperti saat ini, muncul gelombang PHK karena kegiatan usaha merosot. Pekerja perlu bantuan pemerintah untuk bertahan hidup.
”Biaya pelatihan akan lebih bermanfaat jika diberikan kepada keluarga yang kehilangan pendapatan akibat pandemi Covid-19,” ujar Akhmad.
Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, pemerintah sebenarnya memiliki dua opsi terkait Kartu Prakerja. Pertama, mengalihkan anggaran kelas pelatihan untuk menambah insentif peserta Kartu Prakerja. Kedua, mengalihkan anggaran untuk menambah kuota peserta program karena jumlah penganggur berpotensi meningkat.
”Sambil berjalan, sebaiknya segera dirombak modelnya,” ujarnya.
Mengalihkan anggaran kelas pelatihan untuk menambah insentif peserta Kartu Prakerja.
Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah berpendapat, belanja APBN untuk penanganan Covid-19 mesti diprioritaskan untuk memperluas bantuan sosial dan menjamin distribusi pangan.