Di tengah pemasaran ikan yang sulit, nelayan dan pembudidaya ikan mulai terbelit utang dan berhenti produksi. Gerak cepat diperlukan untuk menyelamatkan ekonomi perikanan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjualan hasil produksi ikan yang tersendat membuat nelayan dan pembudidaya terpuruk. Pendapatan mereka anjlok. Di tengah jerat kemiskinan, pelaku usaha perikanan kian terbelit utang, berhenti produksi, dan sebagian mulai beralih profesi.
Hasil survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap nelayan dan pembudidaya pada 31 Maret-10 April 2020 menunjukkan, penjualan produksi ikan menjadi kendala besar di sejumlah daerah. Sebab, banyak pengepul ikan tidak melayani atau membatasi pembelian ikan dari nelayan dan pembudidaya, sementara tempat pelelangan ikan dan pasar ditutup.
Survei dilakukan terhadap sejumlah sentra nelayan dan pembudidaya ikan di Provinsi Kalimantan Utara, Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Sebagian besar daerah tersebut melaporkan permintaan turun sehingga harga ikan merosot.
Nelayan yang tetap melaut kesulitan modal karena harga jual tak sebanding dengan biaya melaut. Nelayan terbelit utang pada tetangga, juragan, dan pengepul. Sebagian nelayan juga menjual barang dan perabotan untuk modal melaut dan menyambung hidup.
Hilmatul Baidlo, perempuan nelayan di Desa Nambangan, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya, Jawa Timur, menyampaikan, nelayan melakukan berbagai cara untuk tetap melaut. Namun, harga ikan bulu mentok anjlok dari Rp 6.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 4.000 per kg dan ikan jenggot merosot dari Rp 5.000 per kg menjadi Rp 2.000 per kg. Ikan sulit terjual karena pasar tutup. Hasil penjualan itu dibagi dengan buruh nelayan sehingga, jika dirata-rata, upah buruh nelayan tinggal Rp 1.000 per kg.
”Ikan dijual murah sehingga tidak cukup untuk modal kembali melaut. Nelayan harus menjual barang dan simpanan perhiasan untuk modal dan makan sehari-hari. Jika tidak bisa, berutang ke pengepul,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (19/4/2020).
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat KNTI Dani Setiawan menyampaikan, selain penjualan ikan yang sulit selama pandemi Covid-19, biaya operasional juga meningkat karena pasokan bahan bakar minyak (BBM) langka dan mahal. Kesulitan permodalan membuat sebagian nelayan tidak melaut.
Sementara pembudidaya juga mengeluhkan kesulitan mendapatkan benih dan sarana produksi, seperti pakan dan obat-obatan, terutama yang mengandung bahan baku impor. Pembudidaya lobster di Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) dan Gresik (Jawa Timur) memanen lebih awal untuk mencegah kerugian lebih besar.
”Jika dibiarkan berkepanjangan, kondisi ini berpotensi memperburuk kehidupan keluarga nelayan dan pembudidaya. Pendapatan mereka menurun karena kesulitan mencari pembeli hasil tangkapan dan panen, sedangkan mereka terbelit biaya hidup,” kata Dani.
Kondisi ini berpotensi memperburuk kehidupan keluarga nelayan dan pembudidaya.
Dani menambahkan, di tengah ancaman krisis, perlu langkah cepat untuk melindungi nelayan dan pembudidaya. Upaya menyelamatkan ekonomi perikanan nasional di tengah Covid-19 membutuhkan skema khusus, antara lain mengintegrasikan skema pembelian produk perikanan dengan penguatan sistem logistik ikan nasional.
Pemerintah pusat dan daerah perlu merealokasi anggaran untuk program perlindungan dan pencegahan dampak Covid-19 bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya, termasuk menyiapkan skema jaring pengaman sosial. ”Negara perlu berperan menjaga ketersediaan pasokan protein dengan memastikan distribusi pangan, menjaga daya beli masyarakat, serta melindungi ekonomi keluarga nelayan dan pembudidaya,” katanya.
Upaya jangka pendek membenahi mata rantai perdagangan ikan antara lain dengan mendorong digitalisasi usaha perikanan hulu-hilir. Dalam jangka pendek, digitalisasi akan mendukung pencegahan penyebaran Covid-19. Selain itu, meningkatkan akses nelayan dan pembudidaya dengan program kredit dan keuangan mikro yang suku bunganya murah, pembayaran pinjaman yang fleksibel, dan opsi restrukturisasi pinjaman.
Sementara itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam siaran pers, Sabtu (18/4), menyatakan, perikanan tangkap dan ekspor hasil laut harus tetap berjalan dengan tetap memprioritaskan protokol kesehatan dan pencegahan Covid-19.
Pandemi Covid-19 telah berdampak pada harga ikan yang turun drastis hingga 50 persen. Penghasilan rata-rata nelayan turun dari Rp 3,5 juta menjadi Rp 1 juta-Rp 1,5 juta dalam sekali melaut.
Luhut mengimbau kepala daerah untuk mengalokasikan anggaran melalui APBD untuk membeli produk perikanan. Sementara itu, nelayan, pembudidaya, pengolah, dan petambak garam yang mengalami kerugian dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar akan diberikan bantuan langsung tunai. (LKT)