Titik kritis dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian akan terjadi pada triwulan II-2020. Kelompok masyarakat yang kena dampak paling besar mesti ditopang.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Titik kritis dampak pandemi Covid-2019 terhadap perekonomian RI diperkirakan terjadi pada triwulan II-2020. Pada periode April-Juni 2020, eskalasi pandemi Covid-19 akan memukul kegiatan dunia usaha dan konsumsi kelas menengah ke bawah secara bersamaan.
Kementerian Keuangan memproyesikan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 berkisar 4,5-4,6 persen, sedangkan triwulan II-2020 mendekati nol persen, bahkan bisa minus 2 persen. Dampak pandemi Covid-19 memengaruhi hampir semua aktivitas domestik sejak awal Maret 2020.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menuturkan, saat ini Indonesia menghadapi masa sulit dengan tingkat kesulitan yang belum bisa diprediksi.
”Perekonomian global dan nasional dipastikan melambat signifikan. Bukan hanya melambat, tetapi dengan ketidakpastian,” kata Febrio dalam diskusi ”Indonesia Macroeconomic Update 2020” yang diselenggarakan secara virtual, Senin (20/4/2020), di Jakarta.
Titik kritis dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian RI diperkirakan terjadi selama April-Juni 2020. Hal ini sejalan dengan sejumlah riset yang menyebutkan puncak kasus Covid-19 pada bulan Mei. Kondisi ini juga seiring dengan semakin banyak daerah yang menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar.
Febrio mengatakan, pembatasan sosial berskala besar akan menggerus konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi 54-55 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kegiatan dunia usaha juga akan menurun sehingga berpotensi meningkatkan kasus pemutusan hubungan kerja dan pengurangan jam kerja.
Untuk memperkecil tekanan, pemerintah mempercepat pencairan bantuan sosial secara bertahap mulai April. Stimulus bagi dunia usaha juga diperluas dan diberlakukan pada awal April. Selain itu, suntikan stimulus baru disiapkan untuk menyelamatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari kebangkrutan.
”Stimulus ekonomi juga akan diarahkan untuk mendukung penduduk rentan miskin yang di atas 20 persen dan pengusaha menengah ke bawah,” ucap Febrio.
Hampir semua lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat signifikan pada 2020. Pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 2,3 persen, dari 5,3 persen dalam APBN 2020. Adapun skenario terburuk perekonomian tumbuh minus 0,4 persen.
Ekonom Bank Central Asia, David Sumual, menambahkan, krisis ekonomi akibat Covid-19 berbeda dengan krisis sebelumnya. Dampak krisis kini paling memukul pengusaha dan penduduk kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, stimulus seharusnya diarahkan kepada kelompok ini, bukan perusahaan besar atau orang-orang kaya.
”Stimulus perlu lebih banyak ditujukan bagi pengusaha kelas menengah ke bawah dan penduduk secara keseluruhan. Kontribusi mereka bagi perekonomi sangat besar,” ujarnya.
Menurut David, pemerintah mesti mengantisipasi dampak luas Covid-19, dan ”angsa hitam” perekonomian lainnya. Salah satunya, perlambatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, serta inflasi tinggi yang terjadi dalam waktu bersamaan. Pemulihan ekonomi dampak Covid-19 bisa berlanjut hingga 2020.
Anggaran kurang
Sejauh ini Pemerintah Indonesia menggangarkan dana untuk penanganan Covid-19 dan pencegahan krisis ekonomi sebesar Rp 436,1 triliun dalam tiga paket stimulus. Angka itu setara dengan 2,5 persen produk domestik bruto (PDB).
Anggaran penanganan Covid-19 di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Malaysia (10 persen PDB), Amerika Serikat (11 persen PDB), Singapura dan Australia (10,9 persen PDB), Jepang (19 persen PDB), dan Jerman (20 persen PDB).
Febrio menambahkan, dana penanganan Covid-19 yang disiapkan pemerintah tidak akan cukup jika pandemi Covid-19 terus meluas dan kasus terus bertambah. Pemerintah menyiapkan strategi untuk mengantisipasi kekurangan dana dengan mempertimbangkan batas aman rasio utang terhadap PDB.
”Apakah (dana yang disiapkan) cukup? Terus terang, kami ragu cukup. Pemerintah saat ini juga bersiap-siap, kalau tidak cukup, apa yang harus dilakukan,” ucapnya.
Menurut Febrio, Indonesia masih memiliki ruang fiskal untuk menambah pembiayaan karena rasio utang terhadap PDB masih berkisar 30 persen, sementara regulasi mengizinkan hingga 60 persen. Namun, penambahan utang baru akan dilakukan hati-hati agar rasio tidak meningkat drastis dan memukul balik kondisi fiskal domestik.
Pemerintah saat ini juga bersiap-siap, kalau tidak cukup, apa yang harus dilakukan.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu II Gita Wirjawan berpendapat, Indonesia membutuhkan tambahan dana jauh lebih besar dari yang sudah dianggarkan. Pandemi Covid-19 semakin hari semakin memukul perekonomian dalam negeri, yang tecermin dari kenaikan kasus pemutusan hubungan kerja dan pengurangan jam bekerja serta penurunan pendapatan usaha hingga 30-40 persen.
Berdasarkan hitungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran sekitar Rp 1.600 triliun atau 10 persen PDB untuk menjaga stabilitas sosial dan kesehatan. Angka itu belum termasuk alokasi dana untuk penyelamatan korporasi melalui restrukturisasi kredit ataupun investasi jangka panjang.