Waspadai Lonjakan Kemiskinan dan Pengangguran
Penganggur dan orang miskin di Indonesia diperkirakan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi yang merosot. Diperlukan bantuan sosial untuk menopang kehidupan sehari-hari masyarakat miskin dan rentan miskin.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengubah wajah perekonomian dan kesejahteraan. Selain pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan anjlok, jumlah penganggur diperkirakan melonjak. Angka kemiskinan juga diperkirakan meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 24,79 juta orang miskin di Indonesia pada September 2019 atau 9,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Per Agustus 2019, ada 7,05 juta penganggur atau 5,28 persen dari angkatan kerja di Indonesia yang sebanyak 133,56 juta orang.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini 2,3 persen. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI sebesar 0,5 persen pada 2020.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto, menyampaikan, pemerintah mesti mewaspadai lonjakan pengangguran seiring pandemi Covid-19. Menurut dia, sebagian besar angkatan kerja Indonesia ada di Jawa. Saat ini, Jawa kena dampak pandemi Covid-19 paling serius daripada pulau-pulau lain di Tanah Air.
”Jawa sangat berisiko. Apalagi dengan pergerakan antarwilayah yang bebas,” ujar Akhmad yang dihubungi Kompas, Minggu (19/4/2020), di Jakarta.
Riset Core memperkirakan jumlah penganggur di Jawa bertambah 3,4 juta orang untuk skenario ringan, 5,6 juta orang (skenario sedang), dan 6,94 juta orang (skenario berat). Adapun potensi jumlah penganggur secara nasional bertambah 4,25 juta (skenario ringan), 6,68 juta orang (skenario sedang), dan 9,35 juta orang (skenario berat).
Sementara riset terbaru The SMERU Research Institute yang dirilis pada Jumat (17/4) memperkirakan lonjakan angka kemiskinan tahun ini akibat pandemi Covid-19. Masyarakat terancam jatuh miskin jika dampak ekonomi Covid-19 berkelanjutan tanpa program perlindungan sosial dan penguatan ekonomi yang lebih menyeluruh.
Riset SMERU yang dipaparkan Asep Suryahadi, Ridho Al Izzati, dan Daniel Suryadarma memprediksi lonjakan angka kemiskinan berdasarkan skenario pertumbuhan ekonomi ringan hingga berat. Dalam skenario paling ringan, yakni pertumbuhan ekonomi 4,2 persen, angka kemiskinan naik 9,7 persen atau bertambah 1,3 juta orang. Skenario moderat, jika perekonomian tumbuh 2,1 persen, jumlah orang miskin bertambah 3,9 juta orang.
Adapun skenario terburuk, yakni pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 1 persen, orang miskin di Indonesia bertambah 8,45 juta orang atau melonjak 12,4 persen. Dengan skenario paling buruk ini, pada akhir tahun ini jumlah orang miskin bisa sebanyak 33,24 juta orang.
Menurut Akhmad, program penanggulangan dampak Covid-19 sebaiknya diproritaskan untuk wilayah yang paling terdampak karena dana pemerintah terbatas. ”Prinsipnya, yang terdampak lebih serius harus mendapat perhatian lebih serius. Jangan disamaratakan karena penanggulangan akan menjadi tidak maksimal,” kata Akhmad.
Lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling parah adalah penyediaan akomodasi, makanan dan minuman, transportasi dan pergudangan, serta perdagangan besar dan eceran. Adapun status pekerjaan paling rentan terdampak Covid-19 adalah pekerja bebas atau pekerja lepas dan wiraswasta.
Riset terbaru Oxfam International, organisasi nirlaba di bidang pembangunan dan penanggulangan bencana, menunjukkan, dampak ekonomi Covid-19 akan mendorong lebih dari 500 juta orang di dunia jatuh ke jurang kemiskinan.
Presiden Bank Dunia David Malpass, menjawab pertanyaan Kompas secara tertulis, Jumat (17/4) malam WIB, menyebutkan, semua negara perlu memperkuat jaring pengaman sosial. Orang-orang yang kehilangan pekerjaan dan berpotensi jatuh miskin harus diberi bantuan langsung oleh pemerintah, organisasi nirlaba, atau perusahaan swasta.
”Perlu upaya bersama untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Namun, di negara-negara berkembang, hal itu akan lebih sulit dilakukan karena mereka harus memiliki sistem yang dioperasikan bersamaan,” kata Malpass.
Pandemi Covid-19 sangat mengganggu aktivitas ekonomi di negara-negara berkembang. Banyak orang yang masih harus bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk pekerja informal yang jumlahnya banyak di negara-negara berkembang. Kondisi ini harus diatasi dengan sistem jaring pengaman sosial yang kuat.
Perlu upaya bersama untuk memperkuat jaring pengaman sosial.
Menurut Malpass, negara-negara di dunia sebaiknya memiliki kebijakan fiskal yang fleksibel untuk menjawab perubahan rantai pasok global ataupun lokal. Fleksibilitas fiskal juga harus dibarengi transparansi kebijakan pengelolaan utang dan investasi untuk meningkatkan kepercayaan pasar. Tujuannya, menarik arus modal masuk.
”Kami mendesak negara-negara memiliki fleksibilitas dalam hal pasar ataupun sistem,” ujar Malpass.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pandemi Covid-19 mengguncang perekonomian sehingga memengaruhi kegiatan dunia usaha. APBN akan diarahkan untuk meredam guncangan agar bisnis tidak bangkrut dan pemutusan hubungan kerja yang masif bisa dihindari. Bantuan sosial juga disalurkan untuk menjaga konsumsi domestik.
”Penyaluran bantuan sosial untuk mengurangi guncangan ekonomi masyarakat, bukan menyubstitusi,” katanya.
Baca juga: Tekan Laju Angka Kemiskinan dari Imbas Covid-19
Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, menyoroti tiga hal terkait kemiskinan akibat pandemi Covid-19. Pertama, bantuan sosial perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Kedua, cakupan bantuan perlu diperluas, tidak hanya untuk masyarakat di bawah garis kemiskinan, tetapi juga mereka yang rentan miskin dan kelas menengah ”tanggung” yang kehilangan pemasukan rutin. Ketiga, meningkatkan koordinasi lintas kementerian/lembaga agar pendataan lebih terintegrasi dan penyaluran bansos bisa tepat sasaran.
”Karena ini situasi krisis, perlu ada satu komando yang jelas, tim koordinasi khusus, yang mengurus semua bansos agar tidak tumpang tindih. Saat ini, hitungannya terlalu banyak pintu yang mengurusi berbagai program bansos, ini harus dikoordinasikan,” kata Alamsyah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah memang sudah meluncurkan sejumlah program bantuan sosial. Namun, langkah yang diambil pemerintah dinilai belum memperhitungkan skenario terburuk jika angka pengangguran dan kemiskinan melonjak tinggi.
Ia mencontohkan, beberapa program bansos masih berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial. Namun, belum memperhitungkan kelompok masyarakat yang selama ini bukan sasaran bansos, tetapi berpotensi jatuh miskin akibat pandemi.