Dari desa, petani sayur-mayur menjaga kota di tengah pandemi Covid-19. Tinggal pesan secara daring, sayuran langsung diantar. Warga kota jangan pulang kampung dulu. Biarkan petani tenang memenuhi kebutuhan kalian.
Oleh
Melati Mewangi
·4 menit baca
Dasep Badrusalam (33) terusik. Di tengah pandemi, dia mendengar petani sayur-mayur di sekitar rumahnya di Desa Sindang Mekar, Wanaraja, Garut, Jawa Barat, dihantam derita. Pasokan sayur ke pasar induk di Bandung dan Jakarta berkurang hingga 30 persen. Keterbatasan transportasi membuat petani tak leluasa memasarkan sayuran.
Tak punya banyak sumber daya pendukung, ia memanfaatkan telepon genggam dan jejaring pertemanan. Lewat status Whatsapp, ia memasang gambar hasil panen cabai merah milik orangtuanya. Gambar itu direspons baik oleh temannya di Garut. Dia membutuhkan 1 kilogram cabai merah dan minta langsung diantar ke rumah. Respons positif lewat media sosial pun bermunculan. Permintaan beragam jenis sayuran pun berdatangan.
”Karena pesanan makin banyak, sementara saya tinggalkan dulu kedai teh di Garut. Tempatnya dijadikan penampungan dan pengemasan sayuran. Setelah dipesan, kami antar ke pemesannya. Sebagian besar di seputar Garut,” kata Dasep yang juga pemilik Mooi Tea House, kedai teh yang menggunakan teh perkebunan rakyat.
Karena pesanan makin banyak, sementara saya tinggalkan dulu kedai teh di Garut.
Kini ada 15 petani yang tergabung dalam usaha anyar berbendera Garut Fresh itu. Komoditasnya beragam, mulai dari peria, kentang, wortel, bawang merah, bawang putih, cabai keriting, hingga tomat. Meski dikelola petani lokal, Dasep menjamin semua diurus dengan baik. Sanitasi di kebun, misalnya, petani terbiasa bermasker, memakai penutup kepala, dan dilindungi sarung tangan. Semua dilakukan demi kesehatan pangan dan petaninya sendiri.
Semua perlengkapan itu berfungsi meminimalkan sisa pestisida agar tidak terhirup, sekaligus menangkal dinginnya udara pegunungan. Sementara sarung tangan untuk melindungi tangan petani dari gesekan dan mikroba di tanah. Untuk menarik konsumen, inovasi juga dilakukan. Ada bonus bagi pembelinya. Untuk setiap pemesanan sayur minimal Rp 50.000, misalnya, konsumen bakal mendapatkan bonus 200 gram cabai hijau.
”Cara ini rupanya menarik banyak pembeli dan mampu melayani kuota kisaran 70-100 pesanan per hari. Rata-rata bisa 50 kilogram sayuran per hari,” katanya, pekan lalu. Sekelompok anak muda di Desa Mekarmanik dan Cikadut, Kabupaten Bandung, melakukan hal serupa. Tergabung dalam grup pertanian Tanaman Obat Cimenyan (Taoci), mereka menjembatani pemasaran produk petani setempat. Setiap paket dijual Rp 100.000.
Isinya beragam. Di setiap paket ada 200 gram daun kelor segar; 0,5 kilogram wortel; 800 gram brokoli; 1 kg tomat; dan 150 gram cabai. Ada juga 200 gram buncis; 250 gram bawang merah dan putih; serta 1 kg terung. Seluruh sayur dikemas apik menggunakan tas berbahan kain yang bisa dipakai berulang.
Sukarelawan Taoci, Abdul Hamid (25), memastikan, sayur yang diterima konsumen seluruhnya dalam keadaan segar. Daun kelor, misalnya, dipetik dari kebun beberapa jam sebelum pengantaran kepada konsumen. ”Kami membantu 20 petani. Stok 10-20 kg per komoditas per hari dengan kuota 20 paket per hari,” katanya.
Paket siap masak
Inovasi lain ditawarkan petani hortikultura asal Purwakarta, Jabar. Ananda Dwi Septian (25) bersama 20 petani muda lainnya berinovasi di tengah pandemi. Selain mengemas sayuran dengan bungkus rapi, ia juga menjual paket sayur siap masak, seperti sayur sop, sayur asem, dan sayur capcai. Sejak 25 Maret 2020, produk itu dijual Rp 5.000-Rp 10.000 per paket.
”Kami bergerak mencari pembeli lewat media sosial. Setidaknya dalam sehari ada 7-15 pembeli yang memesan lewat Whatsapp. Mayoritas warga di pusat kota Purwakarta,” ujarnya. Paket sayur, pengemasan apik, kesegaran, dan kebersihan produk menjadi andalan. Itu ditambah daya tarik pemesanan yang mudah. Semua jadi jaminan ideal bagi konsumen saat wabah Covid-19 menyerang banyak daerah di Indonesia.
”Konsumen tak perlu ke pasar atau supermarket. Kami antar sampai depan rumah. Sayur dijamin segar karena langsung dipetik dari kebun. Kapasitasnya 5-10 kg per komoditas,” ucapnya. Akan tetapi, meski menjanjikan, akhir-akhir ini mereka cemas. Gelombang pulang kampung dari Ibu Kota dan daerah satelit yang menjadi episentrum Covid-19 menjadi penyebabnya.
Petani di desa khawatir perantau yang mudik berpotensi menyebarkan virus korona baru di daerahnya. Berdasarkan data Pemprov Jabar, saat ini jumlah pemudik di Jabar mencapai 214.000 orang hingga Maret. Jika dibandingkan dengan puncak arus mudik sebanyak 3,8 juta orang, angka itu masih kecil, tetapi berisiko besar di tengah pandemi.
”Saya berharap pemudik tidak pulang kampung dulu. Kalau memaksa pulang dan tak sadar membawa virus, semua akan repot. Jika petani sakit, siapa yang mau tanam sayur dan bahan pangan lainnya,” kata Ananda. Di tengah keterbatasan, inovasi terus tumbuh. Namun, kreativitas saja tak cukup. Butuh dukungan banyak orang untuk mewujudkannya.