Perlindungan data pribadi di jagat maya perlu segera dilakukan. Regulasi terkait perlindungan data ini diyakini bisa mendukung data kita tidak lagi dicuri di jejaring internet.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Ketika kita terhubung dengan internet, data kita sangat berpotensi untuk dikumpulkan dan dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa sepengetahuan kita. Bahkan, komersialisasi data itu terbentang dari bidang ekonomi hingga politik.
Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk ”Nilai Komersial dan Politik Data Pengguna” yang diselenggarakan oleh Goethe Institut Indonesia. Hadir sebagai narasumber peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Alia Y Karunian; penulis buku dan blog, podcaster, dan dosen yang tinggal di Berlin, Jerman, Michael Seemann; peneliti independen yang tinggal di Malaysia, Jun-e Tan; serta aktivis internet dan ahli ekonomi Katharina Nocun.
Di bidang politik, Alia menyatakan, iklan politik di media sosial kian mencuat tatkala terungkapnya skandal Cambridge Analytica tahun 2018. Saat itu, penyelidik dari badan pengawas data di Inggris menggeledah kantor Cambridge Analytica di London, Inggris. Perusahaan konsultan ini dituduh menambang data pribadi 50 juta pengguna Facebook untuk membantu memenangkan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.
Meski relatif baru, lanjut Alia, berkampanye melalui media sosial juga dilakukan oleh politisi Indonesia, misalnya saja ketika perhelatan Pemilu 2019. Ada kandidat yang mengiklankan diri di media sosial.
Persoalannya, dia melanjutkan, pengguna media sosial yang terpapar iklan tersebut datanya didapat dari siapa. Pihak aplikasi selaku salah satu perusahaan pengumpul data pengguna internet pun dinilai tidak transparan. Meski aturan kampanye sudah diatur oleh undang-undang, belum ada aturan spesifik mengenai politisi yang berkampanye di media sosial. Misalnya saja transparansi antara aplikator selaku penyedia ruang iklan dan politisi tersebut.
”Padahal, konten-konten di media sosial itu cukup memengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan,” katanya.
Terkait data pengguna internet, Michael lebih suka menyebutnya dengan istilah koneksi. Menurut dia, data yang terekam itu, antara lain, mengenai relasi seseorang dengan orang lain, relasi orang dengan komoditas tertentu, hingga rekaman mengenai hasrat.
Hal itu, katanya, sangat berpeluang disalahgunakan oleh perusahaan pengumpul data tersebut. Misalnya dengan menjualnya untuk keperluan iklan.
Di tingkat individu, lanjutnya, barangkali kita berpikir data seperti itu tidak penting. Padahal, bisa saja data tersebut digunakan untuk memprediksi sesuatu.
Di Eropa, ujarnya, sudah ada Regulasi Umum Perlindungan Data (General Data Protection Regulation). Peraturan ini sudah cukup baik untuk melindungi pengguna internet. ”Soalnya, dengan aturan itu, seorang pengguna internet bisa bertanya bagaimana datanya diproses dan digunakan untuk apa saja,” katanya.
Sementara, menurut Katharina, adakalanya pengguna internet tak punya banyak pilihan. Mereka harus membagikan datanya. Data itu sangat berpotensi untuk digunakan oleh pengiklan. Pengiklan, ujarnya, bisa mengetahui hal-hal privat dari pengguna internet, seperti orientasi seksual dan lain-lain.
Walhasil, pengguna internet pun dibombardir oleh iklan-iklan yang diseleksi berdasarkan data pribadinya sendiri. ”Dan, mereka tidak pernah tahu nasib data yang telah mereka berikan itu,” ucapnya.
Di Indonesia, wacana mengenai perlindungan data pribadi sudah mengemuka. Hal itu ditandai dengan mulai dibahasnya Rancangan Undan-Undang Perlindungan Data Pribadi oleh DPR. Salah satu isu yang didorong adalah perlindungan data pribadi warga negara yang dikelola aplikasi atau platfrom agregator.