Menolak ”Ayam Ditambat Disambar Elang”
Peribahasa ”ayam ditambat disambar elang” sesuai dengan kondisi pelaku usaha di rantai pasok ayam pedaging. Meski didera kemalangan karena pandemi Covid-19, mereka menolak jatuh lebih dalam.
Bagai peribahasa ”ayam ditambat disambar elang”, para pelaku usaha sebagai roda penggerak rantai pasok ayam pedaging didera kemalangan karena pandemi Covid-19. Namun, mereka menolak jatuh lebih dalam demi usahanya dan orang-orang yang menggantungkan hidup pada mereka.
Pemilik usaha peternakan ayam pedaging Berkah Putra Chicken, Agus Suwarna, di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menilai kodisi ini paling mencekam dalam dua dekade terakhir. Musuh tak terlihat ini lebih mencekik dibandingkan kenaikan harga pakan. Atau persaingan usaha tidak sehat dengan perusahaan besar, yang menghantui peternak mandiri dua tahun belakangan.
”Bahkan, wabah SARS (severe acute respiratory syndrome) dulu tidak seberat sekarang karena harga jual hanya turun sesaat. Kalau ini, harga jual jadi tidak wajar. Kami peternak mengalami kerugian yang luar biasa,” katanya kepada Kompas, Senin (27/4/2020).
Harga jual ayam hidup atau ayam ras kini tiarap di rata-rata Rp 10.000 per kilogram (kg). Jauh dari harga acuan pembelian dari pemerintah sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per kg. Padahal, biaya produksi di peternakan Agus berkisar Rp 15.000-Rp 17.000 per kg.
Turunnya harga jual ke pasaran itu disebabkan kebijakan pembatasan sosial untuk mencegah penularan Covid-19. Kebijakan itu membuat permintaan ayam, yang didominasi oleh pemilik rumah makan, anjlok sampai 30 persen.
”Kami coba menjual ayam ras langsung ke masyarakat. Mengecer dengan keliling dari kampung ke kampung. Namun, setelah ada PSBB (pembatasan sosial berskala besar) minggu lalu, banyak jalan ditutup. Kami pun berhenti setelah jalan dua minggu,” ujarnya.
Satu usaha berhenti, usaha lain dilanjutkan yakni dengan fokus melakukan efisiensi. Fokus pertama adalah memperpanjang masa istirahat kandang setelah ayam dipanen. Jika biasanya butuh waktu kurang dari 24 hari, saat ini masa istirahat kandang diperpanjang 35 hari.
Fokus lainnya adalah dengan menegosiasikan modal beternak dengan pengusaha lain, seperti menego tempo pembayaran bibit ayam usia sehari. Lalu, mengupayakan penangguhan kenaikan pakan ternak berbasis jagung impor, yang sempat direncanakan naik.
Karyawan
Mempertahankan perusahaan tidak hanya semata-mata tujuan Agus. Ia juga bertanggung jawab untuk menyambung hidup para karyawan yang lama menggantungkan nasib dari usahanya. Selain masih harus membayar pegawai di kantor dengan gaji tetap bulanan, Agus juga harus menafkahi karyawan yang mengurus ternak.
Peternak di sana biasa dibayar sesuai hasil kerja per siklus panen ayam, yang rata-rata dua bulan sekali. Dengan masa istirahat kandang yang lebih lama saat ini, peternak juga dibayar Rp 50.000 per hari sebagai ”uang tunggu”.
”Kami berusaha mempertahankan karyawan yang lebih kurang mencapai 100 orang. Mau melakukan PHK tidak enak karena mereka sudah lama bekerja. Jadi, kami akan mempertahankan mereka sampai darah penghabisan,” ujarnya.
Di sisi lain, risiko pengurangan gaji untuk karyawan tetap tidak bisa dihindari. Tahun ini, tunjangan hari raya (THR) untuk karyawan ditiadakan. Keputusan itu pun telah dikomunikasikan kepada karyawannya agar sama-sama memaklumi keadaan.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Bergantung Durasi Pembatasan Sosial
Usaha untuk menyambung hidup karyawan juga dilakukan pedagang ayam potong, Guntaryadi. Pedagang yang biasa berjualan bersama sang istri di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, itu mempekerjakan enam karyawan. Hal itu dilakukan walaupun omzet penjualan telah turun 60 persen dalam sebulan terakhir.
”Mau enggak mau kami meng-cover anak buah. Penting jalan terus karena di balik mereka ada anak dan istri mereka. Kami sebagai pedagang melihat rezeki saya rezeki dia juga, yang bantu berdagang. Bagaimana caranya, pasti bisa,” katanya saat ditemui Kompas beberapa waktu lalu.
Untuk menyambung hidup karyawannya, Guntaryadi pun memberdayakan mereka untuk melayani pemesanan daring. Peluang itu dikerjakan dengan adanya kampanye belanja dari rumah oleh pemerintah daerah di Jakarta. Melalui sambungan telepon atau aplikasi pesan, masyarakat bisa memesan daging ayam, bahkan kebutuhan lain yang bisa ditemukan di pasar.
”Penjualan lewat online ini cukup membantu dan memberi tambahan untuk anak-anak (karyawan). Kami jadi dapat tambahan untuk membeli kebutuhan lain, seperti sayuran, bumbu, dan lainnya. Lalu, pekerjaan untuk nganterin barang yang dihargai Rp 20.000 sekali jalan juga jadi tambahan,” ujarnya.
Tak sampai di situ, agar tetap bisa menafkahi karyawannya, ia juga menahan pengeluaran tidak perlu, seperti memperbarui kendaraan untuk kegiatan usaha.
Ketahanan pangan
Meskipun pelaku usaha di rantai pasok ayam pedaging masih bisa bertahan, praktik pembatasan sosial bisa memberi kendala serius pada sektor pertanian dan pasokan pangan. Hal itu diprediksi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) akan muncul mulai April ini.
Menanggapi perkiraan itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon berpendapat, pemerintah harus memprioritaskan dana bantuan sekitar Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi kepada pelaku sektor pangan, termasuk peternak.
”Ketersediaan pangan rakyat Indonesia selama ini disokong oleh 26.125 juta rumah tangga petani. Merekalah yang seharusnya diprioritaskan mendapatkan bantuan stimulus ekonomi, bukannya industri start up atau sektor tersier lainnya," katanya dalam keterangan tertulis.
Ia berpendapat, pemerintah harus melihat pelaku usaha di sektor pertanian, seperti petani, peternak, nelayan, atau pekebun sebagai pelaku ekonomi. Bukan hanya sebagai obyek penerima bantuan sosial, yang hanya perlu ditolong dengan paket sembako.
Dalam catatan HKTI, setidaknya ada delapan jenis pangan yang harus jadi prioritas perhatian pemerintah selama pandemi ini, yaitu beras, jagung, kedelai, bawang putih, ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng. Perhatian yang diperlukan adalah dengan memperbaiki iklim usaha pertanian.
Fadli pun mencontohkan perdagangan ayam ras yang bermasalah. Sejak 2018, harga daging ayam terus merosot sehingga kadang merugikan peternak yang mengeluarkan biaya produksi lebih dari harga jual ayam.
”Meski saat ini jumlah produksi daging ayam masih mencukupi, apalagi di tengah turunnya permintaan, tetapi jika kondisi ini dibiarkan tanpa intervensi, ke depan kita bisa menghadapi dua krisis sekaligus, yaitu krisis daging ayam dan krisis telur,” ujarnya.
Baca juga: UMKM yang Pantang Menyerah
Saling bantu
Sejauh ini, pemerintah mendorong 22 perusahaan besar untuk membantu peternak mandiri dengan membeli ayam ras dengan harga lebih baik, yakni Rp 15.000 per kg. Sampai 21 April 2020, sebanyak 221.875 ekor ayam dari lima provinsi sudah dibeli oleh 10 perusahaan.
Tidak berhenti di situ, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita, dalam keterangan pers hari ini, mengatakan, pemerintah juga mendorong penyerapan ayam ras peternak mandiri oleh badan usaha milik negara (BUMN).
”Sampai hari ini, sepuluh perusahaan telah melakukan pembelian ayam ras. Hasilnya mencapai 5,39 persen dari target 4.119.000 ekor,” ujarnya di Jakarta.
Intervensi pemerintah untuk mendorong penyerapan ayam ras oleh perusahaan besar, yang menernakkan ayam sekaligus memproduksi makanan olahan (integrator), diapresiasi peternak mandiri. Namun, peternak seperti Agus, yang mendapat penawaran tersebut, memilih memberikan kesempatan itu kepada peternak lain yang lebih membutuhkan.
”Kami dengan sekuat tenaga masih mampu berjuang sendiri. Biar teman-teman lain yang lebih membutuhkan yang mendapat kesempatan itu,” ujarnya.
Bagi Agus dan Guntaryadi, mereka harus saling membantu agar roda usaha tetap berputar untuk menggerakkan rantai pasok ayam. Sementara itu, mereka terus berharap agar pandemi bermata elang ini tidak jadi menyambar ayam mereka yang ditambat.