Kondisi Fiskal Daerah Tertekan
Pendapatan asli daerah diperkirakan turun karena aktivitas ekonomi lambat dan dana transfer pusat terpangkas. Untuk menopang hidup warga desa, dana desa digulirkan.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 paling memukul daerah-daerah yang roda ekonominya digerakkan oleh sektor jasa, pariwisata, dan pertambangan. Pendapatan daerah berpotensi merosot hingga 50 persen seiring penurunan aktivitas dan lemahnya permintaan.
Di sisi lain, alokasi transfer ke daerah dan dana desa juga dipangkas menjadi Rp 762,72 triliun atau sekitar 11 persen dari pagu APBN 2020. Pemangkasan transfer ke daerah dan dana desa berimbas pada pengurangan pendapatan daerah.
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, Senin (27/4/2020), mengatakan, dampak pandemi Covid-19 terhadap fiskal daerah berbeda-beda. Kontraksi penerimaan daerah paling tidak dipengaruhi dua faktor, yaitu penurunan aktivitas ekonomi dan pemangkasan anggaran transfer ke daerah.
Kontraksi penerimaan daerah paling tidak dipengaruhi dua faktor, yaitu penurunan aktivitas ekonomi dan pemangkasan anggaran transfer ke daerah.
Ditilik berdasarkan aktivitas ekonominya, ada tiga kategori daerah yang terdampak pandemi Covid-19, yaitu daerah yang bergantung pada sektor jasa, pariwisata, dan industri; pertambangan dan penggalian; serta pertanian, perikanan, dan peternakan. Semakin tertekan aktivitas ekonominya, penerimaan daerah semakin merosot.
”Pandemi Covid-19 paling memukul daerah-daerah yang sumber pertumbuhan ekonominya ditopang sektor jasa, pariwisata, dan industri, serta pertambangan dan penggalian,” kata Enny yang dihubungi Kompas di Jakarta.
Baca juga: Fokus Pada Sektor Domestik Penopang Ekonomi Indonesia
Menurut Enny, penerapan pembatasan sosial berskala besar menyebabkan aktivitas sektor jasa, pariwisata, dan manufaktur berkurang signifikan. Bahkan, di beberapa daerah nyaris berhenti total, seperti di DKI Jakarta dan Bali. Penurunan aktivitas ekonomi ini berdampak langsung terhadap penurunan pendapatan asli daerah (PAD).
Penurunan penerimaan juga dialami daerah-daerah yang bergantung pada sektor pertambangan dan penggalian. Pandemi Covid-19 turut memengaruhi perlemahan harga sejumlah komoditas di tingkat global, seperti minyak mentah dan batubara. Penurunan harga dibarengi dengan lemahnya permintaan.
Selain aktivitas ekonomi, menurut Enny, penurunan PAD juga dipengaruhi pemangkasan anggaran transfer ke daerah dan dana desa. Beberapa jenis transfer dari pemerintah pusat menjadi sumber pendapatan andalan daerah, seperti dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi umum (DAU).
”Tekanan dari dua sisi, yaitu penurunan PAD dari sektor-sektor andalan dan pemangkasan anggaran transfer dari pusat, menyebabkan total pendapatan daerah bisa merosot hingga 50 persen,” katanya.
Enny menambahkan, dampak fiskal relatif rendah dialami daerah-daerah yang aktivitas ekonominya digerakkan pertanian, perikanan, dan peternakan. Permintaan terhadap kebutuhan primer akan stabil, bahkan cenderung meningkat saat pandemi Covid-19. Pemerintah mesti mendukung daerah penghasil pangan untuk menjaga ketahanan nasional.
Dampak fiskal relatif rendah dialami daerah-daerah yang aktivitas ekonominya digerakkan pertanian, perikanan, dan peternakan. Pemerintah mesti mendukung daerah penghasil pangan untuk menjaga ketahanan nasional.
DKI Jakarta dan Bali
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto mengatakan, pemerintah saat ini masih mengkaji dampak pandemi Covid-19 terhadap penurunan penerimaan daerah. Sejauh ini DKI Jakarta dan Bali yang diperkirakan penerimaannya turun signifikan.
”Daerah yang dampaknya paling tajam tentunya pada daerah yang mengandalkan pendapatan asli daerahnya pada sektor jasa, terutama pariwisata dan industri, seperti DKI dan Bali,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi DKI tahun 2019 sebesar 5,89 persen. Sumber pertumbuhan ekonomi ditopang sektor perdagangan yang kontribusinya 17,14 persen, industri (12,21 persen), dan kontruksi (11,61 persen).
Adapun pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2019 sebesar 5,63 persen, yang ditopang oleh penyedia akomodasi dan makan minum (23,31 persen), pertanian, kehutanan, dan perikanan (13,34 persen), serta transportasi dan pergudangan (9,81 persen).
Baca juga: Di Tengah Pandemi Covid-19, Jaga Stabilitas Sosial
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan, pemerintah daerah untuk mewaspadai kondisi fiskal setiap daerah. Penurunan penerimaan negara yang diproyeksikan mencapai 10 persen akan berimbas ke pemotongan transfer dana ke daerah sekitar Rp 94 triliun untuk tahun 2020.
”Pemotongan transfer ke daerah hanya tahun 2020. Sejauh ini belum ada kebijakan pemotongan untuk tahun 2021,” kata Sri Mulyani.
Selain dari pemangkasan transfer ke daerah, kondisi fiskal daerah juga akan tertekan akibat penurunan pendapatan asli daerah. Penurunan pendapatan asli daerah paling dalam melanda Jawa, terutama di daerah-daerah zona merah Covid-19. Penurunan pendapatan asli daerah di Jawa diperkirakan 40 persen.
”Pendapatan asli daerah yang paling anjlok adalah DKI Jakarta sebagai episentrum Covid-19. Penurunan pendapatan asli daerah bisa mencapai 50 persen,” ujar Sri Mulyani.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berpendapat, secara teori, siasat mengatasi penurunan penerimaan daerah hanya dengan optimalisasi pendapatan atau efisiensi pengeluaran. Kedua hal itu kini tengah dilakukan oleh hampir semua pemerintah daerah.
Penyaluran transfer ke daerah sebaiknya memprioritaskan daerah yang terdampak pandemi Covid-19 paling dalam, seperti DKI dan Bali. Formula penyaluran anggaran harus diubah tidak bisa menggunakan formula yang sudah ada. Hal ini perlu dilakukan apabila Covid-19 terus merebak hingga triwulan III-2020.
”Penyakit utama pada masa-masa sulit seperti ini adalah birokrasi dan sentralisasi. Hal itu yang harusnya diatasi bersama-sama,” kata Robert.
Dana desa
Sementara bantuan langsung tunai (BLT) yang bersumber dari dana desa mulai dicairkan. Validasi data menjadi perhatian agar tidak terjadi tumpang tindih, bahkan salah sasaran.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengatakan, hingga 27 April 2020, sebanyak 8.157 desa dari 76 kabupaten/kota telah mencairkan BLT dari dana desa itu. Total BLT yang sudah disalurkan Rp 70 miliar. Adapun total BLT yang dialokasikan bagi 74.953 desa di seluruh Indonesia Rp 22,4 triliun dari total pagu dana desa 2020 yang sebesar Rp 72 triliun.
Baca juga: Bantuan Langsung Tunai dari Dana Desa Mulai Dicairkan
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Ivanovich Agusta menambahkan, tak semua BLT disalurkan secara nontunai atau lewat rekening bank kepada penerima karena tidak semua desa bisa menjangkau fasilitas perbankan. Solusinya adalah BLT itu harus diserahkan secara langsung.
”Basis data penerima BLT dilakukan di tingkat rukun tetangga (RT) di desa yang bersangkutan. Pencatatan atau penyusunan data itu dilakukan tiga orang dari RT yang sama. Langkah ini guna memperoleh data yang akurat bahwa warga tersebut benar-benar layak menerima BLT,” katanya.