Sejak 50 tahun lalu, swasembada gula jadi frasa yang berulang, dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Jika petani terus dibiarkan rugi, jika tata kelola pergulaan masih koruptif, lupakanlah mimpi swasembada.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Frasa swasembada gula lima dekade terakhir tak lebih dari ”gula-gula”. Frasa yang semata menyenangkan hati. Benar saja, ketika waktunya tiba, selalu ada alasan kenapa target itu tidak tercapai. Kliping Kompas merekam situasi itu.
Kamis, 17 Februari 1972, Direktur Jenderal Perkebunan Brigjen Muluk Lubis menyampaikan target swasembada gula tahun 1980. Dengan perkiraan jumlah penduduk 150 juta jiwa dan rata-rata konsumsi 10 kilogram per kapita per tahun, Indonesia menargetkan produksi gula 1,5 juta ton tahun 1980.
Sekitar 3,5 bulan kemudian, Menteri Pertanian Prof Tojib Hadiwidjaja menyampaikan target yang lebih optimistis, Indonesia akan mencapai swasembada dengan produksi 1,08 juta ton tahun 1974. Enam tahun lebih cepat dari rencana semula. Sebanyak 80.000 ton di antaranya bahkan direncanakan akan diekspor.
Dua tahun kemudian, rencana ekspor gula tak terpenuhi. Produksi gula tahun 1974 diklaim mencapai 1,08 juta ton. Namun, target swasembada menghadapi tantangan peningkatan konsumsi. Ketika itu, konsumsi gula per kapita dinilai telah mencapai 10 kilogram (kg) per tahun atau jauh dari perkiraan semula yang sebesar 6,5 kg per tahun.
Empat tahun kemudian, cita-cita swasembada belum juga tercapai. Menteri Pertanian Prof Ir Soedarsono Hadisapoetro mengakui bahwa swasembada gula menjadi beban pemerintah selama bertahun-tahun, tetapi belum ada jalan keluar. Pemerintah pun berencana mengembangkan dan mengefisienkan pabrik gula.
Pada tahun 1990, hasrat swasembada kembali menggelora. ”Rencana Indonesia berswasembada gula pada tahun 1992 tidak bisa ditawar lagi,” kata Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Prof Dr Ir Goeswono Soepardi kepada wartawan, 11 Desember 1990.
Tiga tahun kemudian, harapan itu belum terwujud. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR di Jakarta, 16 Februari 1993, yang dihadiri P3GI dan para ahli mengemuka, sistem tebu rakyat intensifikasi yang diperkenalkan sejak 1975 tidak bisa dipaksakan. Tujuan sulit dicapai karena pemilikan lahan petani di Jawa amat sempit. Tanaman tebu tidak mungkin diusahakan dengan efisien secara individual.
Ketika target tak tercapai, apakah mimpi swasembada surut? Tidak. Polanya berulang setiap ganti pemerintahan. Rencana, strategi, dan program bahkan sering merupakan pengulangan. Setelah tak tercapai, mimpi baru dirajut, janji baru disemai kembali.
Pada tahun 2002, misalnya, pemerintah Kembali mencanangkan swasembada gula tahun 2007, lalu diundur jadi tahun 2008, kemudian direvisi jadi tahun 2009 dan hanya untuk gula konsumsi masyarakat, tak termasuk gula untuk industri. Pada tahun 2009, produksi ditargetkan 2,8 juta ton.
Selama kurun 2010-2020, mimpi mengejar swasembada gula juga tidak reda. Saat meninjau perkebunan tebu di lahan rawa di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 22 Mei 2017, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman optimistis mampu mewujudkan swasembada gula putih pada tahun 2019. Dengan kebutuhan gula putih 2,7 juta ton dan gula rafinasi untuk industri 3 juta ton per tahun serta produksi nasional berkisar 2,2-2,6 juta ton per tahun, target swasembada itu dinilai bukan perkara sulit.
Akan tetapi, upaya mewujudkannya tidak semudah mengalkulasi produksi di atas kertas. Dengan kebijakan yang kerap bertentangan, lupakanlah mimpi swasembada. Soal harga pokok pembelian (HPP), misalnya, pemerintah masih setengah hati. HPP yang berlaku saat ini, misalnya, masih Rp 9.100 per kg, sementara ongkos produksinya telah lebih dari Rp 12.000 per kg. Wajar jika gula petani terasa pahit karena harganya tertekan di sana-sini. Jangan heran jika banyak petani tebu beralih menanam komoditas lain.
HPP menjadi salah satu instrumen untuk menjamin pendapatan petani. Kuncinya, semakin tinggi pendapatan, petani akan semakin sejahtera. Jika petani sejahtera dari gula, luas tanam tebu dipastikan bertambah, produksi dan produktivitas pun akan makin tinggi.
Jika petani terus dibiarkan rugi, jika tata kelola pergulaan masih saja koruptif, lupakanlah mimpi itu.
Dengan segenap kekusutan itu, apakah kita masih bermimpi swasembada? Jika petani terus dibiarkan rugi, jika tata kelola pergulaan masih saja koruptif, lupakanlah mimpi itu. Swasembada hanya akan jadi gula-gula. Semata menenangkan hati.