RUU Cipta Kerja Dinilai Lemahkan Pengawasan dan Penegakan Hukum
RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan dinilai melemahkan pengawasan dan penegakan hukum. Paradigma yang berorientasi mengejar investasi dikhawatirkan mengabaikan pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan terus mendesak agar Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ditunda pembahasannya. Di sektor kelautan dan perikanan, aturan itu dinilai melemahkan pengawasan dan penegakan hukum.
CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa, Rabu (29/4/2020), mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang mengatur perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan cenderung mengarah pada resentralisasi kewenangan dari pemda menjadi kewenangan pemerintah pusat. Selain itu, terdapat sejumlah kelonggaran terkait perizinan yang disederhanakan dan dihapuskan.
Achmad mencontohkan, izin penangkapan ikan untuk kapal ikan dengan bobot mati di atas 30 GT dan kapal ikan di bawah 30 gross tonnage (GT) ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal itu sejalan dengan penerapan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS).
Ia juga menyoroti penghapusan ketentuan sanksi pidana perikanan menjadi ketentuan sanksi administratif untuk pelaku usaha yang tidak memiliki perizinan berusaha. Kelonggaran itu dikhawatirkan melemahkan upaya pengawasan dan penegakan hukum, serta menghambat pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
”Bagaimana caranya pemerintah pusat dapat menjalankan fungsi pengendalian kelautan dan perikanan, serta pengawasan terhadap pelaku usaha perikanan yang tidak memiliki izin,” kata Mas Achmad, dalam diskusi bertajuk ”Dampak RUU Cipta Kerja terhadap Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan”, yang diselenggarakan Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) di Jakarta.
Bagaimana caranya pemerintah pusat dapat menjalankan fungsi pengendalian kelautan dan perikanan, serta pengawasan terhadap pelaku usaha perikanan yang tidak memiliki izin.
Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB University, Indra Jaya, mengemukakan, orientasi pembangunan Indonesia harus mengikuti agenda tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2015-2030. Meski sumber daya ikan bisa pulih, tidak berarti penangkapan ikan bisa dilakukan tanpa kendali. Sementara itu, sebaran kapal-kapal penangkap ikan Indonesia masih terpusat di garis pantai 0-4 mil.
”Di sisi lain, ditariknya kewenangan perizinan ke pusat dinilai akan memicu konflik besar antara pemerintah pusat dan daerah. Kewenangan daerah dan pusat harus jelas,” katanya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Indonesia (UKI), Posma SJK Hutasoit, mengatakan, peningkatan investasi seharusnya bukan menjadi tujuan akhir, melainkan tujuan antara untuk menuju tujuan akhir mencapai kesejahteraan. Ambisi mengejar investasi dan pertumbuhan dikhawatirkan hanya dinikmati segelintir orang yang menguasai modal.
”Pertumbuhan yang terjadi hanya dikuasai sekelompok pemodal besar atau oligopoli. Dampak pertumbuhan tidak dirasakan nelayan kecil,” ujarnya.
Peningkatan investasi seharusnya bukan menjadi tujuan akhir, melainkan tujuan antara untuk menuju tujuan akhir mencapai kesejahteraan.
Di sisi lain, lanjut Posma, pemerintah masih memiliki kelemahan dalam pendataan. Akibatnya, banyak usaha perikanan yang tidak melaksanakan dan melaporkan kewajibannya. Pemerintah wajib mendorong nelayan kecil agar naik kelas dan meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dengan sistem yang transparan.
Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif berpendapat, RUU Cipta Kerja jika terus dipaksakan akan sulit dan harus terus dikawal. Upaya Dewan Perwakilan Rakyat untuk melanjutkan pembahasan omnibus law seharusnya tidak dilanjutkan.
Sementara, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru Rahayu mengatakan, pelanggaran yang masih terus terjadi hingga kini adalah penangkapan ikan ilegal dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). KKP terus melakukan sinergi pengawasan dengan instansi lain.
”Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak bisa terjadi jika persoalan (pelanggaran) ini masih terus terjadi,” katanya.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menambahkan, kekhawatiran perizinan yang ditarik ke pemerintah pusat akan diimbangi dengan pembenahan tata kelola. KKP mendapat mandat untuk rencana pengelolaan perikanan, di antaranya jumlah tangkapan ikan yang dibolehkan, jumlah kapal, dan kepatuhan terhadap sistem perizinan.
Hingga saat ini, 2,2 juta nelayan merupakan nelayan kecil dengan kapal berukuran di bawah 10 GT. Adapun stok perikanan saat ini sekitar 12,5 juta ton, di luar tuna. Adapun produksi perikanan tangkap berkisar 8 juta ton per tahun.
”Hal ini mengindikasikan besarnya sumber daya ikan yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai jumlah maksimum ikan yang boleh ditangkap (MSY), yakni 80 persen dari stok ikan nasional,” katanya.
Hasil tangkapan ikan yang menunjukkan tren meningkat menjadi momentum untuk meningkatkan usaha perikanan dan kesejahteraan pelaku usaha perikanan melalui tata kelola perikanan yang tepat. ”Pelaku usaha perlu didorong untuk meningkatkan kepatuhan” kata Zulficar.