Antisipasi Kondisi akibat Covid-19, Bank Tetap Tambah Cadangan Kerugian
Kendati OJK melonggarkan ketentuan pencadangan dana demi kelancaran program restrukturisasi kredit, perbankan tetap meningkatkan pencadangan sebagai upaya mitigasi risiko akibat pandemi Covid-19.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah bank memilih langkah konservatif dengan tetap memupuk pencadangan. Hal ini dilakukan meski otoritas telah memberikan kelonggaran aturan pencadangan kerugian perbankan yang berkaitan dengan program restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19.
Kebijakan peningkatan biaya pencadangan atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) itu diatur dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 yang berlaku mulai tahun ini. Dalam pedoman ini, bank diharuskan menambah lebih banyak modal sesuai peningkatan biaya pencadangan.
Akan tetapi, di tengah kebijakan restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan surat edaran kepada perbankan untuk menggolongkan debitor yang mendapatkan skema restrukturisasi dalam stage 1 dan tidak diperlukan tambahan CKPN.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia OJK, posisi CKPN perbankan pada Desember 2019 mencapai Rp 170,65 triliun. Adapun pada Januari 2020, CKPN melonjak hingga Rp 253,19 triliun.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Haru Koesmahargyo mengatakan, perseroan masih menambah biaya pencadangan meskipun melakukan restrukturisasi. Namun, ia mengakui, peningkatan biaya pencadangan yang dilakukan jumlahnya lebih sedikit dari biasanya.
”Penambahan CKPN tetap perlu dilakukan untuk berjaga-jaga dari risiko ke depan,” ujar Haru saat dihubungi, Senin (4/5/2020).
Penambahan CKPN tetap perlu dilakukan untuk berjaga-jaga dari risiko ke depan.
Berdasarkan laporan bulanan BRI, pada Februari 2020, besaran CKPN kredit senilai Rp 54,446 triliun. Besaran biaya pencadangan tersebut naik 3,83 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau naik 45 persen dibandingkan dengan posisi akhir 2019.
Dihubungi secara terpisah, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengakui, pandemi Covid-19 dapat berdampak jangka panjang. Kondisi ini akan mengganggu kualitas kredit. Apalagi, jika pandemi ini tidak segera mereda, pada triwulan II-2020 pelaku industri berpotensi mulai kehabisan persediaan produksi.
”Saat ini rasio kredit bermasalah atau NPL kami masih ada di kisaran 1,4 persen. Kami akan berusaha untuk menekannya di bawah 2 persen hingga akhir tahun,” ujarnya.
Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F Haryn menambahkan, risiko kredit yang semakin tinggi membuat pencadangan yang dilakukan BCA juga akan meningkat dari proyeksi sebelumnya. Sejak akhir 2019, BCA telah memproyeksikan hingga Rp 6 triliun sebagai tambahan pencadangan selama 2020 dalam rangka implementasi PSAK 71.
Pelonggaran
Sebelum ada kebijakan restrukturisasi kredit, metode penghitungan CKPN hanya didasarkan pada kredit macet. Dalam aturan baru, metode tersebut diubah menjadi expected credit loss atau melihat potensi kerugian ke depan.
Artinya, semua kategori kredit, dari berstatus lancar, ragu-ragu, hingga macet, tetap perlu menyediakan biaya pencadangan. Kondisi tersebut bisa semakin memberatkan likuiditas bank di tengah restrukturisasi kredit.
Dengan adanya Covid-19 ini, kalau ada nasabah yang tidak membayar karena direstrukturisasi, PSAK 71 membolehkan tidak perlu membentuk cadangan.
Dalam telekonfrensi bersama redaksi harian Kompas pekan lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, bank tidak perlu membentuk biaya pencadangan untuk nasabah yang mendapatkan kebijakan restrukturisasi. Relaksasi itu diberikan atas dasar untuk menyangga likuiditas bank yang menerapkan kebijakan restrukturisasi.
”Dengan adanya Covid-19 ini, kalau ada nasabah yang tidak membayar karena direstrukturisasi, PSAK 71 membolehkan tidak perlu membentuk cadangan,” katanya.
OJK telah mengeluarkan surat edaran panduan penyusunan laporan keuangan, terutama dalam menerapkan ketentuan PSAK 71. Ketentuan itu mengacu pada POJK No 11/POJK.03/2020 dan Panduan Dewan Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK–IAI) pada 2 April 2020 tentang Dampak Pandemi Covid-19 terhadap penerapan PSAK 8.
”Namun, jika perbankan telanjur membentuk CKPN tambahan, itu tidak perlu dikembalikan lagi karena tiap perbankan punya kalkulasi (bisnis) masing-masing,” ujarnya.