Merosotnya Nilai Tukar Petani Ancam Produksi dan Stok Pangan
Nilai tukar petani terus merosot empat bulan terakhir. Pemerintah perlu segera mengatasi anjloknya harga di tingkat petani untuk menjamin pendapatan dan kesejahteraannya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama empat bulan berturut-turut sejak Januari 2020, nilai tukar petani atau NTP melorot. Kondisi ini dinilai dapat mengancam produksi dan stok pangan nasional lantaran melemahnya daya produksi dan daya beli petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, Senin (4/5/2020), NTP pada April 2020 menurun 1,73 persen dari bulan sebelumnya ke posisi 100,32. Pada Januari 2020, NTP berada di angka 104,16. Penurunan nilai terjadi setiap bulan.
Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan, NTP merupakan parameter yang krusial dalam kebijakan pertanian dan pangan nasional. ”Apabila NTP turun, petani enggan menanam saat masa tanam berikutnya. Hal ini berbahaya bagi produksi dan stok pangan,” katanya saat dihubungi, Senin (4/5/2020).
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, penurunan NTP pada April 2020 menandakan harga yang dibayarkan petani meningkat, sedangkan harga yang diterima petani merosot. Posisi NTP di angka 100,32 yang berada dekat dengan titik impas juga mesti diwaspadai.
Titik impas NTP berada di angka 100. Apabila NTP di bawah 100, nilai yang dibayarkan petani lebih tinggi dibandingkan nilai yang diperoleh. Komponen nilai yang dibayarkan petani terdiri dari modal produksi dan konsumsi sehari-hari.
Suhariyanto berpendapat, penurunan NTP terjadi akibat harga sejumlah komoditas pertanian di tingkat produsen menurun. ”Misalnya, harga gabah dalam kelompok tanaman pangan menurun karena sedang masa panen. Harga sejumlah komoditas di kelompok perkebunan juga menurun, seperti karet, kelapa sawit, kopi, dan cengkeh,” katanya saat konferensi pers dalam jaringan, Senin.
BPS juga mencatat, harga gabah kering panen atau GKP di tingkat petani pada April 2020 mencapai Rp 4.600 per kilogram (kg). Harga ini lebih rendah 6,82 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Menanggapi anjloknya harga GKP tersebut, Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja menyatakan, pendapatan petani yang diperoleh dari selisih ongkos produksi dan harga jual kian menipis. Rata-rata ongkos produksi GKP yang dipanen saat ini Rp 4.200-Rp 4.500 per kg.
Dalam rapat kerja bersama Kementerian Pertanian, Ketua Komisi IV DPR RI Sudin menilai kadar air yang tinggi menyebabkan anjloknya harga gabah di tingkat petani. Oleh sebab itu, dia meminta Kementerian Pertanian mengadakan bantuan mesin pengering bagi gabungan kelompok tani.
Memperberat nasib
Penurunan NTP pada April 2020 juga mencerminkan kenaikan biaya untuk kebutuhan petani sehari-hari. BPS mendata, indeks konsumsi rumah tangga petani mengalami peningkatan atau inflasi sebesar 0,11 persen.
Guntur mengatakan, harga sejumlah kebutuhan bahan pokok di desa cenderung meningkat sehingga berdampak pada daya beli petani. ”Kondisi ini memperberat nasib petani,” ujarnya.
Sebagai solusi, Guntur menilai petani membutuhkan jaminan pembelian hasil panen dengan harga di atas ongkos produksi. Tak hanya menjaga daya beli, kepastian penyerapan dengan harga yang pantas itu turut menjaga daya produksi petani.