Pola Inflasi Berubah, Daya Beli Masyarakat Melemah
Pandemi Covid-19 mengubah pola inflasi pada masa Ramadhan dan Idul Fitri. Inflasi yang biasanya tinggi kini jadi rendah dan menunjukkan indikasi pelemahan daya beli.
Oleh
bm lukita grahadyarini/fx laksana agung saputra/karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya inflasi pada April 2020 yang sebesar 0,08 persen pada masa Ramadhan ini perlu diwaspadai. Hal itu karena inflasi tersebut, antara lain, dipicu penurunan permintaan yang mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat.
Berdasarkan pantauan BPS di 90 kota, inflasi April 2020 sebesar 0,08 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-April 2020) tercatat 0,84 persen dan inflasi tahunan adalah 2,67 persen. Adapun inflasi inti April 0,17 persen atau tumbuh 2,85 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 90 kota yang dipantau, 39 kota mengalami inflasi, sedangkan 51 kota mengalami deflasi.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyebutkan, pergerakan inflasi pada April 2020 melambat jika dibandingkan pola-pola tahun sebelumnya. Pada Ramadhan 2019 yang berlangsung Mei, inflasinya 0,68 persen.
”Pola ini tidak biasa. Biasanya pada masa Ramadhan dan Idul Fitri selalu ada kenaikan inflasi karena permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa meningkat, tetapi tahun ini situasi tidak biasa akibat pandemi Covid-19, pola inflasi berubah,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (4/5/2020).
Suhariyanto menilai melambatnya inflasi April 2020 disebabkan beberapa faktor, yakni penurunan inflasi inti yang disebabkan pelemahan daya beli rumah tangga, penurunan permintaan barang dan jasa dari masyarakat karena implementasi pembatasan sosial skala besar di sejumlah wilayah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengemukakan, permintaan yang turun di segala sektor sangat erat dengan penurunan daya beli. ”Selama pandemi Covid-19, penghasilan masyarakat menurun, bahkan kehilangan mata pencarian karena pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga daya beli anjlok, terutama masyarakat kelas menengah bawah,” katanya.
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, berpendapat, kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional adalah konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat yang turun sedemikian kuat akan berdampak signifikan terhadap sisi produksi dan pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, pemerintah perlu berupaya melindungi daya beli 40 persen masyarakat pendapatan terbawah agar tidak semakin terpuruk melalui skema perlindungan sosial yang jelas dan transparan.
”Sebanyak 40 persen penduduk Indonesia dengan penghasilan terbawah terancam minus konsumsi jika daya beli kian tergerus, dan dikhawatirkan merembet ke masyarakat menengah bawah yang rentan miskin,” kata Enny.
Sebanyak 40 persen penduduk Indonesia dengan penghasilan terbawah terancam minus konsumsi jika daya beli kian tergerus, dan dikhawatirkan merembet ke masyarakat menengah bawah yang rentan miskin.
Kehilangan pekerjaan
Sedikitnya 1,7 juta orang kehilangan pekerjaan di tengah krisis Covid-19. Data resmi tentang penduduk yang kehilangan pekerjaan itu dilaporkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah dalam rapat terbatas dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin. Agenda rapat adalah laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyatakan, menanggulangi bencana tidak boleh menimbulkan bencana baru. Untuk itu, integrasi usaha seluruh pemangku kepentingan untuk menanggulangi penyebaran Covid-19 penting. Salah satunya dengan menjaga masyarakat tidak jatuh dalam kesulitan hidup karena kehilangan pekerjaan.
”Upaya kita semua adalah untuk bisa mencegah masyarakat tidak terpapar Covid-19, tetapi juga menjaga warga masyarakat tidak terkapar karena di-PHK,” kata Doni.
Upaya kita semua adalah untuk bisa mencegah masyarakat tidak terpapar Covid-19, tetapi juga menjaga warga masyarakat tidak terkapar karena di-PHK.
Seiring dengan bertambahnya masyarakat yang kehilangan pekerjaan, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur Indonesia anjlok ke level 27,5. PMI Manufaktur Indonesia dalam sebulan anjlok dari 45,3 pada Maret 2020 menjadi 27,5 pada April 2020. PMI Manufaktur Indonesia pada April ini terendah sejak 2011.
Indeks PMI adalah indikator ekonomi yang mencerminkan keyakinan para manajer bisnis di sektor manufaktur. Skor indeks manufaktur PMI di bawah 50 mengindikasikan adanya risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, PMI Manufaktur hampir semua negara di bawah level 50. Namun, PMI Manufaktur Indonesia turun paling tajam dibandingkan negara-negara kawasan Asia Tenggara, bahkan dari Jepang dan Korea Selatan. Pemburukan sektor manufaktur terindikasi sejak akhir Maret 2020.
”Kedalaman jatuhnya sektor manufaktur Indonesia harus diwaspadai. Puncak pemburukan sektor manufaktur diperkirakan April sampai Mei 2020,” kata Sri Mulyani.