Isu Kesejahteraan Daerah Penghasil Tambang Menjadi Sorotan
Tambang belum sepenuhnya memakmurkan rakyat di daerah penghasil tambang. Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus bisa menjamin kemakmuran rakyat di sekitar tambang.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isu kesejahteraan daerah penghasil tambang menjadi sorotan di tengah pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pencabutan wewenang daerah dalam hal perizinan pertambangan juga dipersoalkan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring bertema ”Kejar Tayang Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara”, Minggu (10/5/2020), yang diselenggarakan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
Diskusi ini menghadirkan narasumber mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon Sembiring, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah, dan Koordinator Kelompok Kerja (Pokja 30) Buyung Marajo.
Abra Talattov mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Indef, kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan negara pada 2019 tumbuh negatif 19 persen dibandingkan 2018. Dengan nilai Rp 66,12 triliun, kontribusi pertambangan jauh lebih rendah dibandingkan industri pengolahan dan perdagangan. Pada 2019, industri pengolahan menyumbang Rp 365,9 triliun dan perdagangan menyumbang Rp 246,85 triliun.
”Bahkan, persentase angka kemiskinan di wilayah penghasil tambang melebihi persentase kemiskinan tingkat nasional. Itu terjadi di Sulawesi Tengah yang angka kemiskinannya pada September 2019 sebesar 13,18 persen,” ujar Abra.
Persentase angka kemiskinan di wilayah penghasil tambang melebihi persentase kemiskinan tingkat nasional. Itu terjadi di Sulawesi Tengah yang angka kemiskinannya pada September 2019 sebesar 13,18 persen.
Abra juga memberikan catatan bahwa kewajiban peningkatan nilai tambah tambang mineral di dalam negeri harus dilaksanakan secara konsisten. Lewat pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, selain dapat menyerap tenaga kerja baru, kegiatan tersebut juga dapat memberi dampak ganda bagi perekonomian.
”Ke depan, sektor pertambangan adalah salah satu kunci mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih maksimal dengan syarat harus didukung dengan industrialisasi,” kata Abra.
Mengenai isu kesejahteraan rakyat di daerah penghasil tambang, Buyung membenarkan bahwa daerah sangat bergantung pada hasil penjualan komoditas tambang. Di Kalimantan Timur, misalnya, ketergantungan terhadap komoditas minyak dan gas bumi sangat tinggi.
Ia pesimistis revisi undang-undang tersebut bakal menguntungkan rakyat di daerah penghasil tambang.
”Apabila revisi undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat, seharusnya ada keberpihakan pada rakyat, dong. Nyatanya, ada indikasi revisi ini hanya menguntungkan pemilik modal saja. Silakan dicek di lapangan. Mana ada rakyat sejahtera di sekitar area tambang,” kata Buyung.
Begitu pula informasi tentang setoran royalti perusahaan tambang kepada pemerintah disebut tak pernah transparan.
Buyung menambahkan, rakyat di sekitar tambang tidak pernah mengetahui berapa besar manfaat yang didapat daerah dari hasil tambang tersebut. Begitu pula informasi tentang setoran royalti perusahaan tambang kepada pemerintah disebut tak pernah transparan. Ia berharap transparansi mengenai bagi hasil semakin baik lewat revisi undang-undang yang sedang berlangsung tersebut.
Pelaksanaan lemah
Sementara itu, Simon berpendapat, sebenarnya tidak ada yang salah dalam UU No 4/2009 sehingga harus banyak direvisi. Masalah dalam undang-undang tersebut ada dalam pelaksanaannya. Pemerintah kurang tegas menegakkan aturan dalam undang-undang, sementara DPR lemah dalam pengawasan.
“Coba mana hasil amandemen kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Itu amanat dalam UU No 4/2009. Begitu pula kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam negeri yang penegakan aturannya lemah,” ucap Simon.
Maryati megnemukakan, pembahasan revisi UU No 4/2009 yang begitu cepat di tengah pandemi Covid-19 mengundang pertanyaan publik. Bahkan, beberapa pembahasan revisi yang dilakukan DPR tidak diselenggarakan secara terbuka. Ia menilai partisipasi publik menjadi lemah selama proses revisi berlangsung.