Ribuan Pekerja Kawasan Industri Nikel di Sultra Cemaskan PHK
Ribuan pekerja di kawasan Virtue Dragon Nickel Industrial Park dirumahkan sejak dua bulan terakhir. Meski mendapat gaji pokok, para pekerja cemas terjadi pemutusan kontrak massal.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Ribuan pekerja di kawasan industri pengolahan nikel Virtue Dragon Nickel Industrial Park di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dirumahkan sejak dua bulan terakhir. Perusahaan tidak ingin Covid-19 meluas dan menyebar di lokasi kerja. Meski mendapat gaji pokok, para pekerja beranggapan alasan mereka dirumahkan tidak jelas dan mereka mencemaskan terjadi pemutusan hubungan kerja massal.
Sekitar 2.000 pekerja PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) telah dirumahkan sejak 23 Maret. Dua perusahaan ini bergerak dalam pemurnian dan pengolahan bijih nikel (smelter) dengan investasi miliar dollar AS yang berada di kawasan Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP). Sebagian besar yang dirumahkan tersebut adalah pekerja dengan sistem kontrak.
Human Resources Department (HRD) Manager PT VDNI dan PT OSS Ahmad Saekuzen menjelaskan, perumahan karyawan dilakukan sebagai antisipasi penyebaran pandemi Covid-19, khususnya di wilayah perusahaan. Karyawan yang menetap di luar wilayah kerja perusahaan terpaksa dirumahkan untuk sementara.
”Alasannya murni untuk mengantisipasi penyebaran virus dan protokol perusahaan. Pekerja yang menetap di luar wilayah kecamatan Morosi, Bondoala, dan Kapoiala kami rumahkan. Itu pun sebenarnya kami kasih opsi, yang masih mau kerja, kos sementara di tiga kawasan tadi,” ucap Ahmad, di Kendari, Minggu (10/5/2020).
Menurut Ahmad, selama dirumahkan, ribuan pekerja ini tetap mendapatkan gaji pokok sesuai kontrak. Pekerja hanya tidak mendapatkan beberapa pendapatan tambahan karena tidak bekerja, seperti tunjangan dan lembur.
Dengan situasi ini, kata Ahmad, pada dasarnya operasi di lapangan kekurangan tenaga. Para pekerja yang tetap masuk jam lemburnya bertambah, yang berpengaruh terhadap pengeluaran perusahaan. Total orang yang bekerja saat ini sekitar 9.000 orang dari total 11.000 lebih pekerja. Jumlah ini di luar pekerja kontraktor dan mitra yang mencapai 20.000 orang.
Memang ada evaluasi juga selama dirumahkan.
Ahmad menyampaikan, pihaknya belum tahu batas waktu kebijakan merumahkan pekerja ini berlaku. Sebab, pandemi Covid-19 terus terjadi hingga saat ini. Perusahaan berusaha melakukan upaya percepatan agar kondisi normal dan pekerja bisa masuk kembali.
”Memang ada evaluasi juga selama dirumahkan. Untuk karyawan tetap, itu aman. Untuk tenaga kontrak, ada satu-dua orang yang diputus kontrak karena melihat kinerja selama ini dan kebetulan kontraknya memang habis. Angka pastinya harus cek satu-satu dulu,” ucap Ahmad.
Simon (24), salah seorang pekerja yang dirumahkan, menuturkan, sudah dua bulan ia berdiam saja di rumah. Tiap bulan, ia tetap menerima gaji pokok Rp 2,6 juta. Namun, jumlah ini setengah dari yang biasa ia dapatkan ketika masuk kerja.
Pekerja yang bertugas sebagai pengawas di smelter ini menceritakan, ia sebenarnya menetap di wilayah perusahaan dengan menyewa kontrakan. Meski demikian, ia sempat sakit selama dua hari di Maret lalu. Saat masuk, ia diarahkan untuk pulang dan istirahat karena masuk program pekerja yang dirumahkan.
”Masalahnya, kontrak kerja saya itu berakhir Maret lalu dan saya belum pegang kontrak yang baru. Kontrak terakhir itu selama enam bulan. Teman-teman khawatir nanti kontrak tidak diperpanjang. Padahal, kita banyak kebutuhan, termasuk menunggu THR (tunjangan hari raya) di Ramadhan ini,” tutur Simon.
Ketua Serikat dan Perlindungan Tenaga Kerja (SPTK) Konawe Junaedi menyampaikan, para pekerja PT VDNI dan PT OSS yang dirumahkan sangat khawatir terjadinya PHK massal ke depannya. Sebab, kebijakan merumahkan karyawan tidak memiliki legalitas yang jelas dan rawan untuk pekerja.
”Kami khawatirkan ini hanya alasan perusahaan untuk tiba-tiba memutus kontrak pekerja. Apalagi, sebagian besar pekerja itu masih kontrak,” ucap Junaedi, yang juga pekerja di PT VDNI ini.
Junaedi mengungkapkan, tiga tahun bekerja sebagai sopir di perusahaan tersebut, ia belum juga diangkat sebagai karyawan tetap. Durasi kontraknya pun berubah-ubah, dari setahun, enam bulan, hingga saat ini hanya berdurasi tiga bulan.
Semua anggota serikat, yang berjumlah sekitar 2.500 orang, juga berstatus tenaga kontrak. ”Anggota kami ada sebagian yang dirumahkan. Oleh karena itu, kami khawatir nasib ke depannya,” ucap Junaedi, yang saat ini masih rutin bekerja.
Pekerja China
Kekhawatiran itu, ujar Junaedi, bertambah dengan rencana kedatangan 500 tenaga kerja asal China akhir April lalu. Terlebih lagi, para pekerja China biasanya hanya menjadi pekerja kasar yang mengerjakan pekerjaan yang sama dengan pekerja lokal, seperti mengaduk semen dan mengecor jalan.
Rencana kedatangan 500 pekerja China ini menjadi polemik sejak beberapa pekan lalu. Penyebabnya, ketika pemerintah menyetujui permohonan pengadaan tenaga kerja China oleh PT VDNI dan PT OSS. Rencana ini lalu ditolak oleh banyak pihak, termasuk DPRD Sultra, karena dinilai bertentangan dengan upaya pencegahan Covid-19. Belakangan, Kementerian Tenaga Kerja menunda rencana tersebut.
Ahmad Saekuzen membantah kebijakan merumahkan karyawan di PT VDNI dan PT OSS ada hubungannya dengan rencana kedatangan pekerja asing. Kebijakan merumahkan karyawan murni sebagai pencegahan virus agar tidak menyebar lebih luas, khususnya di lingkungan perusahaan. Sementara, ratusan pekerja yang akan didatangkan adalah tenaga ahli untuk pembangunan smelter.
Malah, menurut Ahmad, pihaknya berencana menambah ribuan tenaga kerja lokal baru ke depannya. ”Tidak ada hubungannya, (merumahkan karyawan) ini murni untuk pencegahan meluasnya penyebaran virus. Kemenaker juga sudah mengarahkan untuk menunda kedatangan pekerja China ini,” ujarnya.