Antisipasi Pekerja Migran yang Kembali ke Tanah Air
Di tengah pandemi Covid-19, pekerja migran yang pekerjaannya tidak diperpanjang di negara penempatan kembali ke Tanah Air. Mereka tanpa pekerjaan dan tak punya penghasilan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melanjutkan repatriasi 34.300 pekerja migran Indonesia yang masa kontrak kerjanya berakhir. Kepulangan pekerja migran tanpa pekerjaan dan pendapatan itu menambah jumlah pengangguran di tengah pandemi Covid-19.
Mereka perlu dilindungi melalui program padat karya tunai dan jaring pengaman sosial.
Berdasarkan catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sebanyak 34.300 pekerja migran akan kembali ke Tanah Air pada Mei-Juni 2020. Mereka datang dari 54 negara tempat mereka bekerja.
Para pekerja migran itu menambah panjang daftar pekerja migran yang kembali ke Tanah Air selama pandemi Covid-19. Sebelumnya, pada Januari sampai dengan 4 Mei 2020, sebanyak 126.742 pekerja migran dipulangkan karena kebijakan penguncian wilayah maupun karena dideportasi dari negara asal tempat bekerja.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani, Minggu (10/5/2020), mengatakan, pekerja migran yang akan pulang pada Mei-Juni itu berstatus prosedural atau memiliki dokumen resmi. Mereka dipulangkan karena masa kontrak kerja sudah berakhir. Dengan demikian, di Tanah Air, mereka tak punya pekerjaan dan sumber penghasilan.
Di tengah kondisi pandemi, ujar Benny, mereka sulit mendapat perpanjangan masa kontrak dari perusahaan atau negara tempat bekerja.
”Sejauh ini belum terdeteksi apakah mereka akan diperpanjang. Untuk penempatan dari swasta, tergantung kontrak dengan perusahaan. Sementara, skema penempatan oleh pemerintah, selama pandemi Covid-19 dihentikan sementara,” ujar Benny.
Berdasarkan statistik ekonomi dan keuangan Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, ada 3,742 juta pekerja migran Indonesia per akhir 2019. Setengah di antaranya, yakni 1,883 juta orang, ditempatkan di Malaysia. Adapun di Arab Saudi sebanyak 961.000 orang.
Baca juga : Antisipasi Lonjakan Kepulangan Pekerja Migran
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, kepulangan pekerja migran perlu diantisipasi karena akan menambah angka pengangguran di tengah pandemi. Pemerintah perlu menyiapkan data lengkap serta akses terhadap skema bantuan sosial atau jaring pengaman sosial. Pemerintah sudah memiliki sejumlah program jaring pengaman sosial, tetapi belum melibatkan para pekerja migran yang akan pulang dalam waktu dekat.
”Harus ada pembaruan data pekerja migran yang pulang dan memasukkan mereka juga ke dalam skema jaring pengaman sosial atau program padat karya tunai,” kata Wahyu.
Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Aris Wahyudi, pemerintah melalui perwakilan atase ketenagakerjaan di negara penempatan mendorong perpanjangan kontrak kerja atau pemindahan majikan jika pekerja tersebut akan dikenai pemutusan hubungan kerja.
”Jika tidak memungkinkan diperpanjang, ketika mereka harus pulang, jangan dilarang dan dipersulit,” kata Aris.
Pemerintah perlu menyiapkan data lengkap serta akses terhadap skema bantuan sosial atau jaring pengaman sosial.
Sementara itu, para pekerja migran yang akan pulang juga disarankan untuk mendaftarkan diri pada program Kartu Prakerja. Mereka akan difasilitasi dinas ketenagakerjaan di daerah asal mereka.
”Ada banyak juga program padat karya tunai, tenaga kerja mandiri, dan padat karya produktif, yang bisa diikuti para pekerja migran begitu kembali ke Tanah Air,” kata Aris.
Terkait program Kartu Prakerja, Benny menambahkan, semula BP2MI ingin meminta kuota khusus dalam program Kartu Prakerja. Namun, hal itu tidak jadi dilakukan karena keterbatasan kuota.
”Rasanya tidak adil juga karena ada banyak sekali korban PHK yang juga berharap dapat Kartu Prakerja. Kami tetap meminta mereka mendaftarkan diri, semoga jumlah kuota yang tersisa bisa mencakup pekerja migran Indonesia yang kembali,” katanya.
Nonprosedural
Berdasarkan riset Human Rights Working Group bersama Serikat Buruh Migran Indonesia dan Jaringan Buruh Migran pada 21-30 April 2020, pekerja migran nonprosedural tertekan dalam hal keamanan, kesehatan, dan ekonomi. Sebagian besar di-PHK, tidak digaji, dan dibayangi ketakutan karena bekerja tanpa dokumen resmi.
Riset itu juga memetakan, pekerja migran di Arab Saudi dan Malaysia banyak yang tidak mendapat gaji. Mereka bekerja serabutan sebagai buruh pabrik dan pekerja konstruksi. Di Arab Saudi, lebih dari 54 persen responden tidak digaji dan kesulitan menghidupi diri di tengah pandemi. Mereka juga urung memeriksakan kondisi kesehatan karena khawatir ditangkap petugas imigrasi.
Sebagian besar mengalami diskriminasi perlakuan dan ancaman hukum di negara penempatan. ”Kemungkinan besar, status mereka nonprosedural atau tidak memiliki visa kerja dan tidak berdokumen,” kata Wakil Direktur Human Rights Working Group Daniel Awigra.
Pekerja migran yang bekerja sebagai asisten rumah tangga juga sulit mengakses fasilitas kesehatan karena tidak diizinkan pemberi kerja. Hasil riset itu menunjukkan, sebagian pekerja migran berharap dapat dipulangkan ke Tanah Air.
Daniel mengatakan, Pemerintah Indonesia diharapkan melanjutkan program repatriasi pekerja migran, tidak hanya untuk yang berdokumen atau prosedural, tetapi juga yang tidak berdokumen. Pemerintah diminta mendata secara akurat pekerja migran yang prosedural ataupun nonprosedural agar mudah melindungi mereka.
Tidak hanya itu, pemerintah juga diminta lebih giat berdiplomasi dengan sejumlah negara penempatan agar tidak mempersoalkan status imigrasi pekerja migran nonprosedural di tengah pandemi. Prioritas utama seharusnya memberi bantuan yang memprioritaskan aspek kesehatan dan rasa aman.
”Khususnya dari Arab Saudi dan Malaysia, karena mereka merupakan kelompok migran yang paling terdampak Covid-19,” katanya.