Menunggu Kompensasi Wabah Covid-19 di NTT
Puluhan mobil angkutan kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang selalu ramai di terminal utama Koepan, kini berkurang. Sopir-sopir menepi di rumah. Ribuan karyawan diberhentikan atau dirumahkan.
Puluhan unit mobil angkutan kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang selalu ramai di terminal utama Koepan, kini berkurang. Sopir-sopir menepi di rumah. Ribuan karyawan diberhentikan atau dirumahkan. Sektor informal pun macet. Pemanfaatan dana penanggulangan dampak Covid-19 di NTT Rp 285 miliar ditunggu warga.
Ofir Fallo (32), sopir angkutan kota (angkot) Kupang jurusan Terminal Koepan, Kelurahan Laylay Besi-Kelurahan Oesapa di Kupang, Sabtu (2/5/2020), mengatakan, sejak 22 Maret ia berhenti mengangkut penumpang menyusul larangan berkerumun. Sudah 45 hari Fallo berhenti bekerja. Ia di rumah saja bersama istri dan tiga anaknya.
”Saya bergantung dari sisa uang setoran ke majikan setiap hari. Setoran ke majikan Rp 200.000 per hari sudah terkumpul, uang sisa itu untuk saya. Paling dapat Rp 20.000-Rp 50.000 per hari. Sekarang, saya berhenti narik sejak dua bulan terakhir ini. Saya mau pulang kampung ke Soe. Namun, sampai di desa sana, mereka (warga di desanya) bakal menolak saya seperti teman saya sebelumnya. Akhirnya, dia kembali balik ke Kupang,” tutur Fallo.
Keluarga Fallo indekos di Kelurahan Liliba, Kupang. Orantuanya adalah petani miskin di Desa Oinlaha, Timor Tengah Selatan. Ia bersama puluhan teman mengadu nasib di Kupang sebagai sopir angkot. Terminal Koepan, pusat persinggahan sejumlah 60 angkot di Kupang itu, kini sepi. Selama ini angkot-angkot melayani 35 rute. Hari itu, Sabtu (3/5/2020), hanya satu angkot yang diparkir, menunggu penumpang di terminal, tetapi tidak ada satu penumpang pun. Dalam angkot kosong.
Agus Bere (29), sopir bus ”Gemilang” jurusan Kupang-Atambua, mengatakan, bus umum tidak dilarang mengangkut penumpang. Namun, bus itu sejak pekan kedua bulan Maret sepi penumpang. Seiring wabah Covid-19, warga tidak mau bepergian dengan kendaraan umum, berdesak-desakan. Akibatnya, Bere pun tinggal di rumah saja.
Meski jumlah sopir angkutan umum mencapai ribuan, mereka tidak memiliki wadah (organisasi) yang menampung aspirasi. Setiap sopir berjuang memperjuangkan nasib mereka sendiri, termasuk persoalan honor atau upah yang tidak sesuai dengan upah minimum provinsi (UMP). Bukan hanya sopir angkutan umum. Yanti Benghu (49), warga Oesapa, Kota Kupang , yang sehari-harinya berjualan pakaian keliling, pun ikut terimbas.
Sekitar tiga kodi pakaian yang terdiri dari baju, celana, dan pakaian dalam yang didatangkan dari Surabaya akhirnya disimpan saja di rumah. Pada hari normal, ia biasa berjualan pakaian keliling, seperti di kantor pemerintah, rumah-rumah warga, perguruan tinggi, sekolah, dan gedung DPRD.
Berkurangnya aktivitas perkantoran juga berdampak langsung kepada jasa katering. Usaha warung makan dan katering Margaretha Somi (45), misalnya, macet total. Sejak semua kantor pemerintah dan sekolah libur, warung makan dan usaha katering ditutup. Bisnis warung pun mandek. Bambang (45), pemilik usaha bakso dan soto di Kupang, tak berkutik. Sepinya pembeli memaksanya mengurangi porsi jualan. Sebelumnya, ia menghabiskan 40 kilogram daging sapi per hari, kini hanya 2 kg daging sapi. Itu pun tidak habis.
Di luar bisnis makanan pun mengalami hal yang sama. Pengusaha batako di Kupang, Gabriel Bayon (55), mengatakan, material dagangannya menumpuk, tidak terbeli. Tidak ada proyek pembangunan di Kota Kupang sejak akhir tahun sampai awal Mei itu. Biasanya, periode Maret-April, proyek-proyek pemerintah mulai cair. Namun, ketika masa itu tiba, malah dihadapkan pada persoalan pandemik Covid-19.
Lesunya pembangunan juga berdampak pada Dami Tallo (48), warga Kelurahan Naimata, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Ia pengumpul batu karang bahan bangunan. Siang itu, ia terdiam di rumah gubuknya. Sekitar lima kubik batu karang yang dikumpulkannya tidak laku dijual. Semua proyek fisik yang memanfaatkan batu hasil keringat Dami macet.
”Satu kubik batu saya kumpulkan dalam waktu tiga hari. Saya harus pukul, belah, dan gali batu ini dengan linggis, kemudian dijual Rp 100.000 per kubik. Memecahkan batu-batu ini tidak mudah,” kata Dami. Wabah Covid-19 benar-benar mempersulit hidup Dami. Hari-hari kian tidak mudah.
Jasa perhotelan
Salah satu bisnis yang terpukul telak secara massal adalah jasa perhotelan. Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTT Leo Arkian mengatakan, jumlah hotel dan restoran di NTT ada sekitar 150 unit, yang terdiri dari 100 hotel dan 50 restoran, yang mempekerjakan sekitar 1.500 karyawan.
Saat ini, sekitar 500 karyawan dirumahkan sambil menunggu situasi pandemi Covid-19 usai. Kondisi serupa dialami di seluruh Indonesia. ”Mereka itu tidak dipecat, tetapi diberhentikan sementara atau dirumahkan. Ada yang masih mendapatkan upah 50 persen dari gaji bulanan, tetapi ada yang tidak dapat sama sekali. Semua karyawan diupah sesuai UMP NTT, Rp 1,9 juta per bulan. Kalau kondisi sudah baik, mereka dapat dipanggil lagi,” kata Leo.
Ia mengatakan, sekitar 80 hotel benar-benar sepi tamu. Bahkan, sejumlah hotel ditutup, seperti di Kupang ada dua hotel, yakni M Hotel dan Hotel Silvia Budget. Bisnis perhotelan paling terpuruk ada di Sikka, Ende, Waingapu, Waikabubak, Tambolaka, dan Larantuka. Di Labuan Bajo, khususnya hotel bintang lima masih bertahan karena operasionalnya masih disuplai (dibantu) dari luar daerah.
PHRI NTT telah menyurati pemerintah provinsi (pemprov) agar hotel dan restoran di NTT diberi keringanan, seperti pajak dan listrik. ”Dalam kondisi ini, kami minta pemda (pemerintah daerah) tidak menarik pajak hotel dan listrik sampai pandemi Covid-19 berlalu. Tiga kabupaten sudah menanggapi ini, yakni Ende, Sikka, dan Sumba Timur, tetapi kabupaten/kota lain belum menanggapi,” kata Leo.
LIP (29), salah satu karyawan Hotel Aston, mengatakan, jumlah karyawan hotel bintang lima itu ada 60 orang. Pekan ini, 16 karyawan hotel dirumahkan. ”Manajemen hotel minta kami berhenti sementara. Kalau situasi pandemi Covid-19 berlalu, kami dipanggil lagi. Kami menerima keadaan ini, karena bukan hanya kami, melainkan banyak orang mengalami nasib serupa,” katanya.
Juru Bicara Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 NTT Marius Jelamu mengatakan, dana penanggulangan dampak Covid-19 di NTT senilai Rp 285 miliar. Dana ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) I dan APBD II, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kepala Dinas Sosial NTT dr Meserasai Ataupah mengatakan, penanganan dampak Covid-19 adalah dengan pembagian bahan pokok dan program keluarga harapan (PHK) serta bantuan langsung tunai (BLT).
Pendekatan bantuan dampak Covid-19 adalah pendataan terhadap keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I dengan kriteria kemiskinan yang ditetapkan pemerintah. Misalnya, rumah yang terbuat dari bambu atau kayu, berlantai tanah, makan sehari satu kali, atap rumah dari gelagah atau alang-alang, dan penghasilan tidak tetap. Selain itu, ada bantuan bagi warga disabilitas dan orang lanjut usia.
”Kami sedang melakukan pembaruan data keluarga prasejahtera dan tahapan keluarga sejahtera. Data lama sudah ada, tetapi akibat dampak Covid-19 tentu masih ada penambahan. Ini perlu didata ulang,” katanya.
Skema bantuan
Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura NTT Yohanes Oktavianus mengatakan, Pemprov NTT menyediakan dana Rp 12,90 miliar yang bersumber dari APBN dan APBD untuk pemberdayaan petani. Bantuan itu dalam bentuk kelompok tani dan proyek padat karya. Menyangkut stok pangan di NTT saat ini, Yohanes mengatakan tetap aman. Stok beras saat ini 640.646 ton, cukup untuk beberapa bulan ke depan. Jumlah penduduk NTT 5,4 juta jiwa, kebutuhan akan beras di NTT sekitar 53 ton per bulan.
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Wilayah NTT Stanis Tefa mengatakan, jumlah pekerja yang terkena dampak Covid-19 sebanyak 6.529 orang yang tersebar di 275 perusahaan. Jumlah itu terdiri dari mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 219 orang, yang ada di 18 perusahaan; dirumahkan 4.852 orang dari 221 perusahaan; lalu pengurangan waktu kerja 1.458 orang yang ada di 36 perusahaan.
Menurut Tefa, penanganan dampak Covid-19 harus langsung dirasakan masyarakat. Misalnya, BLT dan bantuan bahan pokok. Bantuan itu sebaiknya diprioritaskan bagi pekerja sektor informal, seperti penjual bakso, warung makan, ojek daring, penjual sayur keliling, dan para sopir angkutan umum. Pemprov dan pemerintah kabupaten/pemerintah kota mempunyai data pekerja sektor informal yang berhenti bekerja akibat Covid-19.
Mereka harus mendapat bantuan langsung untuk bertahan hidup. Apalagi, mereka mempunyai anak dan istri. Kondisi ekonomi masyarakat di desa terpencil dan sebagian warga di pinggiran Kota Kupang pun sangat memprihatinkan. ”Jangan menunggu ada kasus kematian karena kelaparan, lalu pemda bereaksi,” katanya. Ia meminta dinas pertanian agar tidak menyalurkan bantuan melalui kelompok tani setelah mereka mengolah lahan, proyek padat karya.
Kerja kelompok harus dihindari guna mencegah penyebaran Covid-19. Pemda juga diharapkan tidak menggunakan pendekatan keluarga prasejahtera dan sejahtera I seperti zaman Orde Baru, dengan sembilan hingga 14 kriteria keluarga miskin. Pendekatan keluarga prasejahtera dan sejahtera I selama masa Orde Baru sampai reformasi tidak pernah menyelesaikan masalah kemiskinan.
Di NTT, salah satu provinsi yang masih terus berjuang meningkatkan kesejahteraan warganya kian terpuruk karena wabah Covid-19. Warga menunggu realisasi dana penanggulangan dampak wabah senilai Rp 285 miliar.