Sudah Sebulan Dibuka, Kartu Prakerja Terus Menuai Polemik
Sudah sebulan, Kartu Prakerja hadir sebagai program untuk membantu para korban pemutusan hubungan kerja. Namun, program ini terus menuai polemik di masyarakat.
Oleh
sharon patricia
·5 menit baca
Meski sudah sebulan berjalan, hingga Senin (11/5/2020), program Kartu Prakerja yang masuk dalam jaring pengaman sosial sebagai bantuan untuk penanganan Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh virus korona baru, terus menuai polemik. Keluhan pendaftar tetap sama, yaitu kesulitan mendaftar hingga insentif yang belum juga cair.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlah pendaftar hingga gelombang ketiga mencapai 9,4 juta orang sampai ditutup pada 30 April. Namun, baru 456.265 peserta dari gelombang pertama dan kedua yang telah menerima insentif Rp 600.000 per bulan. Sementara itu, pendaftaran untuk gelombang keempat belum dapat dipastikan kapan akan dibuka.
Dea Saputra (28), peserta program Kartu Prakerja gelombang pertama yang mendaftar pada April 2020, menceritakan, dirinya sempat kesulitan saat mendaftar, mulai dari pengisian data diri hingga mengunggah foto kartu tanda penduduk. Kini, keluhan kembali datang karena, setelah lolos dan mengikuti pelatihan, insentif tak kunjung ia dapatkan.
Sebelumnya, Dea bekerja sebagai buruh di daerah Cilacap, Jawa Tengah, tetapi dirumahkan sejak Maret 2020. Saat ini, ia menyambung hidup dengan menjadi pengemudi ojek daring dengan penghasilan di bawah Rp 50.000 per hari, bahkan kadang tidak ada penghasilan sama sekali.
”Alhamdulillah langsung lolos gelombang pertama dan saya ikut pelatihan paket ojek online untuk menambah wawasan dan pelatihan juga selesai dalam satu hari jadi tidak menyita waktu. Akan tetapi, sebenarnya saya butuh sembako, bukan pelatihan,” tutur Dea yang juga menanggung hidup istrinya yang sedang hamil.
Adapun Reksa Adi Chandra Maulana (22) lolos menjadi peserta Kartu Prakerja gelombang kedua. Reksa telah dirumahkan sejak dua bulan lalu dari pekerjaan sebelumnya sebagai bartender di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sesuai dengan pekerjaan sebelumnya, Reksa memilih mengikuti pelatihan menjadi barista. Namun, ia mengakui pelatihan daring tidak efektif, terlebih jenis pelatihan yang dipilihnya akan lebih mudah dipelajari dengan bertatap muka secara langsung.
”Sebenarnya, kalau pelatihannya hanya menonton video seperti ini, saya hanya tahu teori dan tidak tahu bagaimana praktik yang sesungguhnya. Jadi, rasanya sayang saja uang Rp 1 juta untuk pelatihan malah enggak maksimal,” kata Reksa.
Sampai sekarang, Reksa mengatakan, meski telah selesai mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat, insentif sebesar Rp 600.000 belum masuk ke dalam rekeningnya. ”Padahal, untuk anak indekos seperti saya, jelas yang paling dibutuhkan itu bantuan tunai atau sembako,” ujarnya.
Pegiat pendidikan, Eka Simanjuntak, menilai, pelatihan-pelatihan secara daring yang disediakan dalam program Kartu Prakerja tidak menjamin dapat meningkatkan kompetensi seseorang. Terlebih, belum ada standar yang seragam dari setiap pelatihan yang disediakan.
”Harus disadari juga bahwa pembelajaran online dengan pelatihan online itu merupakan dua hal yang berhubungan, tetapi sebenarnya berbeda. Kalau pembelajaran online memang dimungkinkan 100 persen bisa dilakukan, tetapi kalau pelatihantidak semuanya bisa dilakukan secara online, apalagi kalau keterampilan,” kata Eka.
Misalnya, pelatihan memotong rambut secara daring yang disediakan dalam program Kartu Prakerja. Menurut Eka, para peserta tentu bisa menjawab tahapan memotong rambut, tetapi praktiknya belum tentu mereka bisa melakukannya dengan benar.
Rawan pemborosan
Eka juga menyoroti mitra-mitra yang tergabung dalam program Kartu Prakerja, yakni Tokopedia, Ruangguru, Bukalapak, MauBelajarApa, Sekolahmu, PintarMahir, Sisnaker, dan Pintaria. Delapan mitra ini tidak diketahui apa dasarnya dapat terpilih dan tergabung.
”Pemerintah semestinya dapat membentuk satu lembaga yang tugasnya memverifikasi. Jadi, ada satu lembaga yang akan menentukan apakah program ini sudah sesuai dengan yang dibutuhkan industri, apakah proses pembelajaran sudah memenuhi syarat-syarat sebuah pelatihan yang bersifat online, apakah memang ada sistem untuk menilai kompetensi peserta,” kata Eka.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Siti Juliantari, pun mempertanyakan proses pemilihan delapan mitra yang tergabung. Mengingat, ada Rp 5,6 triliun dari Rp 20 triliun yang dialokasikan untuk biaya pelatihan yang akan mengalir ke platform-platform penyedia pelatihan daring.
”Para platform yang tergabung pun diperbolehkan untuk mengambil komisi, otomatis harga-harga yang ditawarkan di lembaga pelatihan mungkin lebih tinggi dari yang biasa ditawarkan. Padahal, kalau memang ini dikelola langsung (oleh pemerintah), maka akan lebih efektif dan efisien,”tutur Juliantari.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron mengatakan, program Kartu Prakerja ini memang berpotensi menimbulkan masalah hukum ke depan. Selain terkait dengan penunjukkan delapan mitra tersebut, penerima pun dinilai berpotensi tidak tepat sasaran.
Pendaftaran program Kartu Prakerja dengan cara self declare, kata Ghufron, tentu berpotensi penerima menjadi tidak tepat sasaran sehingga akan menimbulkan kerugian keuangan negara. Penunjukan delapan mitra juga memungkinkan adanya ketidakadilan.
”Capaian peserta juga tentu akan dipertanyakan sebab kedelapan platform tersebut bukan lembaga pendidikan. Kecenderungannya ini pemborosan, kami (KPK) akan meneropongnya apakah ada potensi korupsi dan membuat kerugian negara,” ucap Ghufron.
Evaluasi
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pencairan dana program Kartu Prakerja hingga 28 April 2020 sudah mencapai Rp 1,62 triliun untuk 456.265 peserta di gelombang pertama dan kedua. Realisasi dana ini sudah termasuk insentif ataupun biaya pelatihan bagi para peserta.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, biaya pelatihan Rp 1 juta yang diberikan kepada setiap peserta akan digunakan sesuai dengan kebutuhan peserta. Biaya pelatihan akan tergantung pada jenis pelatihan yang dipilih peserta.
”Ada persepsi bahwa seolah-olah uang Rp 1 juta untuk biaya pelatihan akan hilang. Sebenarya, kalau biaya pelatihan hanya Rp 300.000, uang Rp 700.000 akan kembali ke pemerintah,” ujar Sri Mulyani.
Jadi, kata Sri Mulyani, yang pasti diterima adalah Rp 600.000 per peserta per bulan selama empat bulan. ”Kami mendengar banyak sekali pandangan dari masyarakat dan pasti akan terus dilakukan perbaikan,” ucapnya.