Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020. PP itu, antara lain, mengatur penyaluran likuiditas dari pemerintah kepada bank.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulator segera menunjuk perbankan yang berperan sebagai penyalur likuiditas dari pemerintah kepada bank-bank lain yang membutuhkan. Peran ini untuk menjaga ketersediaan likuiditas di tengah upaya restrukturisasi kredit dari debitor yang terkena dampak Covid-19.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Senin (11/5/2020), menyampaikan, bank yang ditunjuk menjalankan tugas dan peran ini adalah bank yang selama ini menjadi penyalur pasar uang antarbank (PUAB).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, yang diundangkan pada 11 Mei 2020, disebutkan tentang pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, ada bank yang disebut sebagai bank peserta, sebagai perantara dana yang disiapkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan atau penjualan surat berharga negara ke Bank Indonesia.
Pasal 10 PP Nomor 23 Tahun 2020 menyebutkan, bank peserta paling sedikit memiliki kriteria bank umum yang berbadan hukum Indonesia dan beroperasi di wilayah Indonesia. Bank peserta juga paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, berkategori sehat, dan termasuk dalam 15 bank dengan aset terbesar di Indonesia.
Bank peserta ditetapkan menteri berdasarkan informasi Ketua Dewan Komisioner OJK.
Bank peserta akan menjadi perantara dana yang disiapkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan atas penjualan surat berharga negara (SBN) ke Bank Indonesia (BI). Nantinya, bank yang likuiditasnya terganggu bisa mengajukan pinjaman kepada bank peserta.
”Banyak bank yang masuk kriteria ini. Mereka menjadi kanal penjualan SBN ke Bank Indonesia sehingga tanggung jawab tetap pada bank yang akan menggadaikan kredit yang direstrukturisasi,” ujar Wimboh.
Berdasarkan catatan BI, kondisi likuiditas perbankan pada triwulan I-2020 sebenarnya masih memadai.
Rata-rata harian volume PUAB pada Maret 2020 sebesar Rp 12,8 triliun. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga sebesar 22,81 persen pada Februari 2020. Namun, OJK memproyeksi perbankan perlu pendanaan likuiditas Rp 115,31 triliun atas kebijakan restrukturisasi kredit yang dilakukan selama enam bulan. Kebutuhan likuiditas tersebut berlaku untuk semua bank, kecuali bank buku IV dan bank BUMN yang dinilai tidak mengalami masalah likuiditas.
Lebih lanjut Wimboh menyebutkan, bantuan likuiditas itu hanya berlaku bagi bank yang merestrukturisasi kredit maksimal Rp 10 miliar untuk debitor yang kena dampak Covid-19. Sementara bank yang mendapat bantuan likuiditas juga harus bank sehat.
Apabila sebelum Covid-19 terjadi, bank masih dalam kondisi sehat, bantuan likuiditas lewat mekanisme ini bisa diberikan. Hal ini dilakukan agar bank yang sebelumnya tergolong sehat tidak terganggu karena Covid-19.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Royke Tumilaar dalam telekonferensi bersama Kompas mengakui, akan ditunjuk pemerintah sebagai salah satu bank peserta. ”Kami berharap likuiditasnya benar-benar dari pemerintah karena bank-bank besar sistemik sehingga harus menjaga likuiditas,” ujarnya.
Royke menambahkan, perbankan yang nantinya bisa menerima likuiditas tersebut hanya bank yang mendapat rekomendasi dari OJK. Adapun dana dari pemerintah tersebut, akan ditempatkan dalam instrumen giro dan deposito
PP No 23/2020 juga menyebutkan, dana tersebut juga bisa diberikan sebagai tambahan kredit bagi bank perkreditan rakyat (BPR) dan BPR syariah.
Perbankan yang nantinya bisa menerima likuiditas tersebut hanya bank yang mendapat rekomendasi dari OJK.