Pelatihan Daring yang Belum Menjaring Kebutuhan Peserta
Pandemi Covid-19 yang telah memaksa manusia terhubung secara digital sejatinya dihadapi dengan persiapan-persiapan, termasuk menambah keterampilan baru. Meski sudah ada Kartu Prakerja, evaluasi mendesak dilakukan.
Pandemi Coronavirus disease 2019 atau Covid-19 memang telah mengakibatkan pergeseran masif aktivitas manusia ke platform daring. Begitu pun konsep Kartu Prakerja yang diubah dari pelatihan secara tatap muka dan daring, kini pelatihan hanya dilakukan secara daring.
Meskipun pelatihan daring dapat menjangkau lebih banyak peserta, kualitas dari pelatihan tidak menjamin meningkatnya kualitas diri peserta. Sebab, tidak ada standar yang jelas dan terukur untuk lulus dari program pelatihan Kartu Prakerja.
Pengalaman ini dirasakan langsung oleh Ghizchal Raja (24), peserta Kartu Prakerja gelombang kedua yang mengambil kelas pelatihan dasar ilustrasi. Dari waktu tiga minggu yang diberikan untuk menyelesaikan kelas pelatihan, ia mampu menyelesaikannya hanya dalam waktu satu jam.
”Proses pelatihannya sangat mudah, bahkan saya dapat menyelesaikan pelatihan hanya dengan melihat 6 dari 10 video yang diberikan. Itu saja, saya masih mendapatkan nilai 9,5,” kata Ghizchal saat dihubungi Kompas, Rabu (13/5/2020).
Bagi Ghizchal yang merupakan pekerja seni di daerah Jakarta Selatan, pandemi Covid-19 berdampak untuk usahanya karena banyak acara yang dibatalkan. Pendapatannya pun ”terjun bebas” hampir 90 persen.
Ia menilai, tujuan dari program Kartu Prakerja sebenarnya baik. Namun, saat pandemi seperti ini, pelatihan yang diberikan malah mempersulit dan terlihat tidak siap, mulai dari segi pendaftaran hingga mekanisme pencairan biaya pelatihan ataupun insentif.
”Bahkan, materi pelatihan bisa dibilang apa adanya karena pada kenyataannya saya bisa menjawab tanpa harus menyelesaikan materi itu sendiri. Padahal, bisa dibilang (pelatihan) ini, kan, mengeluarkan biaya,” ucap Ghizchal.
Cepatnya proses menyelesaikan pelatihan, kata Ghizchal, ternyata tidak secepat mendapatkan sertifikat. Sudah satu minggu, sertifikat yang menjadi tiket untuk mendapatkan insentif Rp 600.000 belum juga muncul di dasbor akun Kartu Prakerja miliknya.
Secara pribadi, ia menilai dana bantuan dalam keadaan mendesak akan lebih baik jika disalurkan dalam bentuk bantuan langsung tunai. ”Memang juga tidak menjamin penerima bisa menggunakannya untuk memutar roda ekonomi, tetapi setidaknya bisa menyelamatkan mereka yang kelaparan,” ucapnya.
Adapun Sandya Sifa Iswana (18), karyawan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, dirumahkan sejak 1 April sampai waktu yang tidak ditentukan. Keadaan dirumahkan tanpa digaji membuatnya mendaftar Kartu Prakerja.
Namun, Sandya belum berhasil lolos ketika mendaftar di gelombang ketiga. Padahal, ia sudah mengikuti proses verifikasi hingga seleksi, tetapi tidak mendapatkan pengumuman apa pun.
”Saya enggak tahu apakah data saya sebenarnya sudah masuk atau belum karena tidak ada pemberitahuan saya berhasil mengunggah foto atau tidak. Lagi pula, website-nya juga sering error,” ujarnya.
Baca juga: Pekerja Migran Belum Terima Bantuan
Sandya pun menyayangkan program Kartu Prakerja yang sebenarnya bagus untuk meningkatkan kemampuan seseorang, tetapi sistemnya belum mendukung. Kini, ia masih harus menunggu kepastian tanggal dibukanya gelombang keempat.
Transisi dadakan
Jeannette Sanchez, Communication Officer, Employment Policy Department Organisasi Buruh Internasional (ILO), menilai, transisi mendadak dari pembelajaran dan pelatihan tatap muka ke metode daring menunjukkan tren yang menjanjikan sekaligus meresahkan. Sebab, meski pembelajaran dan pelatihan daring membuat akses lebih merata, hasilnya tidak memberikan kualitas yang diinginkan.
Tantangannya, kata Sanchez, antara lain instruktur tidak terlatih dan siap untuk memberikan kursus daring, kesulitan dalam mengadaptasi kurikulum TVET (Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Kejuruan) serta pelatihan ke format daring, juga kurangnya akses ke internet atau peralatan teknologi informasi dan komunikasi guna melakukan pembelajaran atau pelatihan.
Dalam artikel berjudul ”The shift to online learning and skills training shows promising trends and troubling signs”, Sanchez juga membahas bagaimana negara-negara mulai mengadopsi pembelajaran dan pelatihan secara daring. Sebab, tak dimungkiri, pandemi Covid-19 telah mengubah lanskap pekerjaan di masa mendatang.
Sebagai contoh, di Uruguay, INEFOP (the National Institute of Employment and Professional Formation) kini mengembangkan rencana darurat dengan meminta proposal dari berbagai lembaga yang ingin terlibat dalam memberikan pelatihan secara daring. Sebuah tabel pun dibuat untuk mempelajari metodologi pemindahan pelatihan tatap muka ke format daring.
Selain itu, Bangladesh mengembangkan the Skill 21 project yang merupakan inisiatif dari pemerintah dan ILO. Proyek ini dilakukan dengan mengembangkan e-kampus sebagai platform manajemen pembelajaran daring untuk sektor TVET.
Bentuk kemitraan baru juga muncul, misalnya di Suriah, yakni kemitraan yang didirikan bersama Institut Européen de Coopération et de Développement (IECD). Sebuah organisasi bantuan pembangunan yang dikemas ulang untuk memasukkan e-learning dan untuk mengembangkan video tentang program pelatihan baru di bidang konstruksi, pertanian, dan manufaktur.
Dalam jangka pendek, kata Sanchez, kita perlu berpikir tentang keterampilan baru yang dibutuhkan oleh industri dan pengusaha pasca-Covid-19. Dengan begitu, masyarakat yang kini terdampak dapat memperoleh pekerjaan dengan cepat.
Baca juga: 34.000 Pekerja Migran Akan Pulang, Perketat Protokol Kesehatan di Pintu Masuk
”Hal ini dapat dipersiapkan dengan kursus singkat dan rangkaian keterampilan dengan target yang jelas karena dalam jangka panjang, mempekerjakan pekerja jarak jauh bisa menjadi hal yang biasa,” ujar Sanchez.
Segera evaluasi
Data Kementerian Keuangan, jumlah pendaftar hingga gelombang ketiga mencapai 9,4 juta orang hingga ditutup pada 30 April, tetapi baru 456.265 peserta dari gelombang pertama dan kedua yang dinyatakan lolos. Sementara pendaftaran untuk gelombang keempat belum dapat dipastikan kapan akan dibuka.
Kementerian Tenaga Kerja mencatat, angka pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan selama pandemi ini mencapai 3 juta orang. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pun memperkirakan jumlah penganggur bisa naik hingga 10 juta orang (Kompas.id, 12 Mei 2020).
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mendorong agar program Kartu Prakerja segera dievaluasi. Sebab, hingga kini masih banyak kendala teknis yang dihadapi para calon peserta, penerima pun menjadi tidak efektif.
Dalam evaluasi, perlu ada perbaikan pada metode daring dengan memunculkan beragam pelatihan tatap muka yang tetap sesuai dengan standar pembatasan fisik dan protokol lainnya. Tinjauan terhadap materi pelatihan juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kompetensi, produktivitas, dan daya saing dari para peserta.