Kegagalan proyek sejuta hektar lahan gambut untuk tanaman pangan di Kalimantan Tengah tahun 1995 bisa jadi cermin. Ketimbang mengulang kegagalan, kita lebih baik mempertahankan lahan yang ada sambil memacu produktivitas.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·5 menit baca
Selain memberikan insentif Rp 600.000 per bulan untuk 2,44 juta petani miskin, pemerintah berencana membuka lahan pertanian baru untuk mengatasi masalah pangan. Dalam rapat terbatas, Selasa (28/4/2020), Presiden Joko Widodo meminta BUMN, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah membuka lahan-lahan baru untuk persawahan, baik lahan basah maupun gambut.
Soal bantuan untuk petani miskin, okelah sebagai usaha meredam dampak pandemi Covid-19 di sektor petanian. Sejumlah negara punya program serupa. India, misalnya, memberikan bantuan masing-masing 26,5 dollar AS kepada 87 juta petani selama tiga bulan. Pemerintah Kosovo mempercepat pembayaran subsidi dan grants untuk 1.702 petani, sedangkan Pemerintah Sri Lanka mentransfer sekitar 26,72 dollar AS untuk 160.675 petani yang terdaftar dalam skema asuransi petani dan nelayan.
Perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, khususnya produsen pangan skala kecil, buruh tani, dan nelayan krusial untuk mengantisipasi dampak ekonomi sosial dari pandemi Covid-19. Namun, apakah kita perlu membuka sawah baru untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi serta potensi kekeringan tahun ini? Apalagi jika hanya untuk menanam padi?
Mari kita tengok data tahun 2018 dan 2019. Dengan metode penghitungan kerangka sampel area (KSA), metode yang oleh sejumlah pihak dinilai sudah jauh lebih baik ketimbang sebelumnya (eye estimate), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, luas panen padi 11,38 juta hektar pada 2018 dan 10,68 juta hektar pada 2019. Dari luas panen itu dihasilkan 33,94 juta ton beras tahun 2018 dan 31,31 juta ton tahun 2019.
Bagaimana kondisi tahun ini? Sepanjang Januari-Februari 2020, luas panen padi mencapai 799.000 hektar dan produksi beras 2,22 juta ton. Dengan menghitung luas padi umur generatif-vegetatif, panen padi diperkirakan mencapai 4,218 juta hektar selama Maret-Mei 2020 dengan perkiraan produksi beras 12,43 juta ton.
Jika menilik kurva, ada pergeseran waktu panen yang mundur satu bulan tahun ini dibandingkan dua tahun sebelumnya. Faktor kemarau menggeser jadwal tanam musim rendeng 2019/2020. Secara kumulatif, produksi padi mencapai 25,56 juta ton gabah kering giling (GKG) selama Januari-Mei 2020, lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun 2019 (28,15 juta ton GKG) atau 2018 (30,7 juta ton GKG).
Kita masih perlu melihat situasi panen Juni-Agustus untuk meneropong situasi produksi tahun ini. Namun, berkaca pada 2018 dan 2019, produksi beras secara hitungan di atas kertas, cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Dengan asumsi konsumsi 109-115 kilogram (kg) per kapita per tahun, kebutuhan beras nasional berkisar 2,43-2,56 juta ton per bulan atau 29,16-30,72 juta ton per tahun. Artinya, produksi dua tahun terakhir mencukupi kebutuhan tahunan, bahkan surplus meski relatif kecil.
Tantangannya ada pada pengelolaan stok. Dengan produksi yang terkonsentrasi di Pulau Jawa serta 60-70 persen tertumpu pada semester pertama setiap tahun, manajemen stok serta distribusi beras mesti tertata dengan baik agar kebutuhan 267 juta penduduk tercukupi sepanjang tahun.
Kembali ke pertanyaan apakah kita memerlukan sawah baru untuk menambah produksi? Jawabannya, bisa iya, bisa juga tidak. Iya, perlu untuk mengompensasi alih fungsi lahan pertanian jadi non-pertanian sekaligus untuk menopang produksi pangan pada masa depan. Namun, cetak sawah baru mesti menjamin kelangsungan ekosistem, didukung infrastruktur yang memadahi, serta melibatkan petani kecil sebagai pelaku utama.
Jika menilik intensitas penanaman, yakni dengan membagi luas baku sawah dan luas tanam per tahun, dua tahun terakhir rata-rata persawahan di Indonesia ditanami 1-1,5 kali per tahun. Artinya, sebagian besar lahan persawahan ditanami kurang dari dua kali dalam setahun. Dengan mendorong intensitas penanaman hingga dua kali per tahun saja kita bisa menambah luas panen 3-4 juta hektar. Dengan asumsi produktivitas 3 ton beras per hektar, tambahan luas tanam itu bisa menghasilkan 9-12 juta ton beras.
Upaya lain yang bisa ditempuh dalam jangka pendek adalah dengan mengintensifkan pemakaian benih unggul yang memiliki produktivitas lebih tinggi. Selama ini introduksi benih unggul masih berjalan lambat. Benih-benih unggul yang dirakit petani, seperti IF8 yang dikembangkan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), perlu disebarluaskan untuk mendongkrak hasil panen petani.
Selain itu, kegagalan proyek pengembangan sejuta hektar lahan gambut untuk pertanian tanaman pangan di Kalimantan Tengah tahun 1995 bisa jadi cermin. Demikian pula dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Papua. Proyek itu membuktikan bahwa gambut kurang cocok untuk budidaya padi. Selain berisiko menuai bencana karena kerusakan lingkungan, megaproyek itu tak menjamin kelangsungan produksi.
Kegagalan proyek pengembangan sejuta hektar lahan gambut untuk pertanian tanaman pangan di Kalimantan Tengah tahun 1995 bisa jadi cermin.
Oleh karena itu, ketimbang menggali risiko yang sama, bukankah lebih baik mempertahankan lahan yang ada sekaligus menggenjot produktivitas? Selama kurun 2013-2019, luas baku sawah berkurang 285.000 hektar jadi 7,465 juta hektar, sebagian merupakan area subur di Pulau Jawa yang semestinya dilindungi sebagai lahan pangan berkelanjutan, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Peningkatan produksi pangan berkejaran dengan alih fungsi, degradasi, dan perebutan lahan untuk nonpertanian. Maka, komitmen melaksanakan amanat undang-undang mesti kokoh, dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya. Apalagi, data menunjukkan, luas baku sawah terus turun. Hasil Sensus Pertanian 2003 dan 2013 menunjukkan, 508.000 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa beralih kepemilikan dari rumah tangga petani ke non-petani.
Alih kepemilikan terbesar, yakni 204.318 hektar (40 persen), terjadi di lahan seluas kurang dari 0,1 hektar yang selama ini menjadi sumber pencarian petani gurem. Ketimpangan penguasaan lahan juga menjadi problem. Indeks gini lahan pertanian 0,59; 1 persen penduduk menguasai 59 persen aset lahan.
Ketimpangan penguasaan lahan juga menjadi problem. Indeks gini lahan pertanian 0,59; 1 persen penduduk menguasai 59 persen aset lahan.
Sebanyak 56 persen rumah tangga tani menguasai 13,3 persen lahan pertanian. Luas kepemilikan rata-rata kurang dari 0,5 hektar. Dengan lahan sempit, upaya mendongkrak produksi pangan menghadapi tantangan berat. Maka, reforma agraria semakin penting.
Dampak pandemi Covid-19 bisa jadi pelajaran, Ketika krisis kesehatan berkepanjangan, rantai pangan global terganggu. Di tengah kedaruratan itu, negara-negara produsen makin proteksionis dan mengunci cadangan pangannya demi mengamankan kebutuhan dalam negeri. Ketika itu terjadi, kita kembali diingatkan bahwa kita mesti mandiri dan melepaskan ketergantungan pada pangan impor.