Solidaritas Pelaut Indonesia Usulkan Lembaga Perlindungan Pelaut
Keberadaan Indonesia Seafarers of Control (ISoC) dibutuhkan sebagai lembaga yang melindungi tenaga kerja pelaut Indonesia. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya praktik perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Solidaritas Pelaut Indonesia meminta pemerintah membentuk lembaga perlindungan tenaga kerja pelaut Indonesia. Keberadaan lembaga ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktik perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Ketua Umum Solidaritas Pelaut Indonesia Pius Laja Pera menuturkan, usulan tersebut disampaikan melalui surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. ”Kami berharap permasalahan seperti yang dialami anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal ikan Long Xin 629 tidak terulang lagi,” kata Pius ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Pernyataan itu terkait dengan kasus tiga awak kapal WNI yang meninggal dan dilarung di laut. Indonesia dan China akan menyelidiki dugaan pelanggaran oleh perusahaan kapal perikanan China terhadap awak kapal Indonesia itu.
Menurut Pius, keberadaan Indonesia Seafarers of Control (ISoC) dibutuhkan sebagai lembaga yang melindungi tenaga kerja pelaut Indonesia. Semua perusahaan pengerah tenaga kerja pelaut kapal ikan atau kapal niaga, yang sudah ada izin dan resmi terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, harus mendaftar ke ISoC.
Keberadaan Indonesia Seafarers of Control (ISoC) dibutuhkan sebagai lembaga yang melindungi tenaga kerja pelaut Indonesia.
Perusahaan yang mau mengirim ABK kapal ikan ke luar negeri harus mempunyai kontrak dengan perusahaan pelayaran kapal ikan. Mereka harus menandatangani kerja samanya di hadapan ISoC atau Lembaga Perlindungan Tenaga Kerja Pelaut Indonesia dengan membawa profil lengkap perusahaannya.
Selain itu, lanjut Pius, perusahaan tersebut harus mengisi formulir dan menyepakati pemenuhan aturan, seperti jam kerja, jaminan kesehatan, cuti, upah layak, dan asuransi kecelakaan atau kematian.
Sesudah sepakat, masing-masing perusahaan, baik perusahaan pengirim tenaga kerja pelaut kapal ikan maupun perusahaan pelayaran kapal ikan, harus menaruh uang jaminan sebesar 50.000 dollar AS. Uang tersebut untuk jaminan ABK yang akan dipekerjakan di kapal.
”Kalau dalam jangka waktu tertentu, misalnya lima tahun, tidak terjadi apa-apa, ya, diambil. Berarti perusahaan itu bagus,” kata Pius.
Menurut Pius, perusahaan tersebut harus membuat laporan secara berkala, misalnya setiap enam bulan sekali. Pelaporan berkala ini penting untuk memonitor kondisi ABK Indonesia yang bekerja di kapal tersebut.
”Sanksi hukum bisa diberikan ketika laporan tidak sesuai kenyataan atau terjadi pembohongan,” katanya.
Pius mencontohkan, Filipina memiliki lembaga serupa yang juga melindungi tenaga kerja pelautnya. Lembaga itu bernama Marina. Pelaut yang keluar atau pulang dari luar negeri dan bersekolah di luar negeri, semua diatur Marina.
Pemerintah Filipina juga turut menopang lembaga tersebut. Pemasukan devisa dari para pelaut Filipina itu diperkirakan sebesar 1 miliar dollar AS per bulan.
”Indonesia pun dapat mendapatkan devisa besar dari pelaut apabila mampu mengelolanya dengan baik. Pelaut kita itu (jumlahnya) sekitar 1,35 juta orang. Katakan satu pelaut bisa memberi devisa 1.000 dollar AS. Berapa totalnya tinggal kalikan saja,” kata Pius.
Solidaritas Pelaut Indonesia berpendapat, dengan keberadaan ISoC, pemerintah akan dapat memproteksi tenaga kerja pelaut Indonesia secara maksimal.
Sebelumnya, Direktur Perkapalan dan Kepelautan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Sudiono menuturkan, warga Indonesia yang berprofesi sebagai pelaut dan ingin bekerja di kapal berbendera Indonesia atau kapal asing serta pemilik kapal dan perusahaan keagenan awak kapal perlu lebih memahami, menaati, dan mengikuti prosedur yang dibuat dan ditetapkan pemerintah.