”Ora Obah, Ora Mamah”
Di tengah pandemi Covid-19 ini, buruh yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja terus bertambah. Para buruh menolak duduk berpangku tangan. ”Ora obah, ora mamah” (tidak berusaha, tidak akan bisa makan).
Di tengah pandemi Covid-19 ini, buruh yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja terus bertambah. Jaring pengaman sosial memang cukup membantu, tetapi hanya menjadi bantalan. Para buruh menolak duduk berpangku tangan. Ora obah, ora mamah (tidak bergerak/berusaha, tidak akan bisa makan).
Sudah sejak pertengahan April, Sri Rahmawati (40) tidak bekerja. Pada 12 April 2020 lalu, ia mendapat kabar buruk dari manajemen perusahaan garmen tempatnya bekerja di Cakung, Jakarta Utara, bahwa ia resmi diliburkan tanpa digaji. Namun, Rahma menolak hanya duduk berpangku tangan dan berharap bantuan dari pemerintah yang tak kunjung datang.
Berbagai cara ia tempuh untuk tetap memberi makan dua anaknya, membayar kontrak rumah, serta membantu pemasukan suaminya yang juga tidak seberapa sebagai petugas keamanan. Rahma mempelajari hak-haknya yang dilindungi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan menuntut haknya untuk tetap diupah selama pandemi ini. Ia juga mencari sumber nafkah lain untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bersama serikat pekerja yang bernaung di bawah Forum Buruh Lintas Pabrik, Rahma berkali-kali mendatangi manajemen perusahaan untuk merundingkan persoalan upah. Mengacu pada surat edaran Menteri Ketenagakerjaan, perusahaan diharuskan tetap membayar upah buruh dengan merundingkan besaran upah itu dengan buruh dan serikat pekerja.
Namun, berbagai lobi yang digencarkan mental. Perusahaan tempat Rahma memutuskan 800 pekerja tetap diliburkan tanpa mendapatkan upah. ”Kami tanyakan, kalau seperti ini, bagaimana kami mau bayar kontrakan dan kebutuhan hidup sehari-hari? Tapi tidak ditanggapi, manajemen juga sedang merugi dan tidak sanggup membayar,” kata Rahma.
Selama ini, Rahma menjadi pencari nafkah. Suami Rahma sudah satu tahun terakhir menganggur karena sakit. Di tengah kondisi sulit ini, satu keluarga harus memutar otak mencari cara untuk bertahan hidup. Suami Rahma pun mencari pekerjaan sebagai petugas keamanan. Ia baru bekerja 14 hari terakhir ini, selang empat hari sebelum Rahma resmi dirumahkan tanpa upah.
Anak sulungnya, yang baru saja tamat SMA, juga ikut berburu pekerjaan. Namun, di tengah pandemi, hal itu nyaris mustahil karena tidak ada perusahaan yang mau mempekerjakan karyawan baru akibat kondisi ekonomi lesu.
”Tinggal di Jakarta yang biasanya sudah berat, jadi semakin berat. Berbagai cara mentok. Bukan hanya saya yang mengalami, banyak teman-teman yang lebih parah, tanggungannya lebih berat,” katanya.
Rahma pun mencoba membuat usaha kecil-kecilan bersama teman-temannya di Forum Buruh Lintas Pabrik. Para buruh yang kehilangan nafkah akibat Covid-19 memproduksi masker dan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) sendiri untuk dijual dengan harga Rp 2.000 per lembar.
Dalam sehari, setiap buruh membuat 40 sampai 70 masker sesuai pesanan. Hasil penjualan dibagi rata untuk membantu biaya hidup anggota forum yang sudah dirumahkan dan terkena PHK akibat Covid-19. Satu orang bisa mendapatkan pemasukan Rp 80.000 sampai Rp 140.000 per hari, bergantung pesanan.
Tidak hanya itu, mereka juga membagikan masker dan hand sanitizer mereka secara cuma-cuma kepada buruh lain yang bukan anggota Forum Buruh Lintas Pabrik. ”Bantuan dari pemerintah sejauh ini belum ada, jadi kami hanya bisa membantu sesama kami. Kami juga kadang-kadang mendapatkan donasi bantuan sembako dari banyak pihak,” katanya.
Baca juga: Rindu Bekerja, tetapi Waswas Membayang
Setali tiga uang, Darsi (41) sudah tiga minggu ini tidak bisa berjualan kopi keliling karena kebijakan pembatasan sosial. Mantan buruh di pabrik garmen itu sudah terkena PHK secara sepihak sejak 2018. Sejak itu, Darsi yang adalah orangtua tunggal dengan dua anak menggantungkan nafkah lewat berjualan kopi di sekitar Cakung sampai Kelapa Gading.
Dalam sebulan, ia harus mencukupi kebutuhan hidup berkisar Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Itu terdiri dari biaya token listrik, kontrak rumah, dan biaya hidup harian. Sekarang, pengeluarannya bertambah karena perlu ada kuota tambahan untuk sekolah daring anaknya yang berusia 10 tahun.
”Untuk kebutuhan kami sendiri saja pas normal sudah masalah, apalagi dalam kondisi seperti ini. Saya sudah genap dua bulan tidak bayar uang kontrak, wah, untung pemilik rumah mau memaklumi,” katanya.
Untuk kebutuhan kami sendiri saja pas normal sudah masalah, apalagi dalam kondisi seperti ini. Saya sudah genap dua bulan tidak bayar uang kontrak.
Bersama Rahma, ia juga membuat masker untuk kembali dijual. Dengan uang Rp 80.000 sampai Rp 140.000 per bulan, serta dibantu adiknya yang juga bekerja sebagai buruh garmen di kampung, Rahma berusaha mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari. Namun, Darsi, yang kerap dipanggil dengan sebutan akrab ”Guys” oleh teman-temannya, tetap ceria dan tabah menghadapi pandemi ini. Setiap hari, ia terus memutar otak untuk menambah pemasukan selain dari berjualan masker. Ia sempat berpikir membuka usaha secara daring, tetapi terkendala modal kuota internet.
”Mau sih berjualan secara daring, tapi sekarang untuk sekolah anak saja butuh kuota, belum lagi bayar token listrik, bayar kontrak, bayar gas, beli sembako, wah, pusing tujuh keliling, guys!” curhat Darsih, lalu tertawa kecil.
Mau sih berjualan secara daring, tapi sekarang untuk sekolah anak saja butuh kuota, belum lagi bayar token listrik, bayar kontrak, bayar gas, beli sembako, wah, pusing tujuh keliling, guys!
Baca juga: Orkestrasikan Jaring Pengaman Sosial
Sementara itu, lantaran dirumahkan, Agus Sufiyanto (29) bekerja sebagai pencuci piring di warung makan milik temannya. Sejak 2 April 2020, ia dirumahkan tanpa upah utuh, sementara ia juga harus menghidupi istri dan satu anaknya yang masih berusia 7 tahun.
”Anak saya masih senang-senang karena sekarang masih bisa makan. Saya tidak tahu kalau nanti sudah tidak bisa makan lagi,” kata karyawan di perusahaan ekspedisi itu.
Minim lowongan kerja
Sejak dirumahkan, Agus menghabiskan kesehariannya berburu pekerjaan. Ia membuka berbagai situs pencari kerja, termasuk mencari lowongan di situs resmi pemerintah lewat Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, jawaban semua perusahaan sama. Mereka sedang tidak membutuhkan karyawan baru karena kondisi perusahaan lesu akibat Covid-19.
Agus pun ragu melanjutkan melamar pekerjaan. Seorang temannya membuka warung soto dan menawarkan Agus untuk membantu menjadi tenaga cuci piring. ”Mungkin teman saya kasihan, akhirnya saya ditawarin, saya sih tidak apa-apa kerja apa pun, yang penting ada pemasukan,” kata Agus.
Berdasarkan analisis mahadata ketenagakerjaan, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan, terjadi penurunan jumlah iklan lowongan kerja yang mulai melambat pada Maret 2020 dan menurun drastis pada April 2020. Hal ini mengindikasikan dampak Covid-19 dan kondisi ekonomi saat ini terhadap penyerapan tenaga kerja.
Sementara Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, per 4 Mei 2020, jumlah pekerja yang dikenai dan dirumahkan nyaris mencapai 3 juta orang. Ada 1,72 juta pekerja yang sudah terdata dengan baik, sementara data 1,2 juta pekerja sisanya masih divalidasi. Dari jumlah tersebut, pekerja yang dikenai PHK masih lebih sedikit dari yang dirumahkan tanpa upah, yakni 375.165 orang.
Baca juga: Antisipasi Lonjakan Pengangguran
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 ini sebesar 2,97 persen. Konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi terbesar hanya tumbuh 2,84 persen. Dampak pertumbuhan ekonomi yang terus menurun itu adalah meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.
Proyeksi pemerintah dalam skenario berat atau jika pertumbuhan ekonomi menurun ke angka 2,3 persen, angka kemiskinan bisa bertambah 1,16 juta orang dan pengangguran bertambah 2,92 juta orang. Sementara, jika pertumbuhan ekonomi menurun ke skenario sangat berat atau minus 0,4 persen, angka kemiskinan bisa bertambah 3,78 juta orang dan pengangguran bertambah sampai 5,23 juta orang.
Untuk mengatasinya, pemerintah telah menyiapkan jaring pengaman sosial dalam tujuh program yang dikelola lebih dari lima kementerian/lembaga. Program itu terdiri atas empat program nonreguler (bantuan langsung tunai dana desa, bantuan subsidi listrik, Padat Karya Tunai, dan bansos untuk warga di Jabodetabek) serta tiga program regular (Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dan Kartu Prakerja).
Pemerintah sudah mengeluarkan Rp 110 triliun untuk program jaring pengaman sosial tersebut dari total Rp 405 triliun anggaran penanganan Covid-19. Setiap program memiliki nilai manfaat dan sasaran yang berbeda. Sebagai contoh, Program Keluarga Harapan menyasar 10 juta keluarga penerima manfaat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu, program seperti Padat Karya Tunai menyasar pekerja informal dan sektor UMKM yang pekerjaan dan usahanya terdampak Covid-19. Ada pula subsidi listrik gratis bagi 24 juta pelanggan dengan daya listrik 450 VA dan diskon sebesar 50 persen untuk 7 juta pelanggan 900 VA selama tiga bulan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengemukakan, pertumbuhan ekonomi 2,97 persen merupakan sinyal yang harus diantisipasi pemerintah. Dengan kondisi seperti sekarang ini, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II diprediksi semakin anjlok.
Saat ini, daya beli pekerja menurun banyak karena banyak yang dikenai dan dirumahkan. ”Sementara pertumbuhan ekonomi kita masih banyak bergantung pada konsumsi rumah tangga masyarakat, yang notabene juga pekerja,” ujarnya.
Menurut Timboel, pemerintah harus lebih fokus pada program-program padat karya tunai di daerah untuk merekrut para pekerja yang terdampak Covid-19. Saat ini, beberapa kebijakan untuk memitigasi angka pengangguran cenderung tidak maksimal dan tidak tepat sasaran. Program Kartu Prakerja, misalnya, harus segera dievaluasi agar anggaran negara bisa diarahkan untuk kebutuhan yang lebih mendesak.
Keberhasilan pengendalian kondisi ekonomi dan pengangguran juga sangat tergantung dari strategi kebijakan pemerintah untuk menekan angka Covid-19.
Bantuan sosial harus terus dilanjutkan pada masa pandemi ini supaya daya beli masyarakat terjaga sehingga produk barang dan jasa yang diproduksi bisa dikonsumsi. ”Keberhasilan pengendalian kondisi ekonomi dan pengangguran juga sangat tergantung dari strategi kebijakan pemerintah untuk menekan angka Covid-19,” katanya.
Bantuan demi bantuan jaringan pengaman sosial memang terus bergulir. Namun, bantuan-bantuan itu kadang tidak tepat sasaran. Masyarakat, terutama para buruh, memang membutuhkan bantuan-bantuan itu untuk mengurangi beban ekonomi harian. Namun, di sisi lain, bantuan itu tidak akan cukup. Sebagian besar dari mereka menolak duduk berpangku tangan.