Perlindungan ABK di Kapal Asing Dinilai Karut-marut
Anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia di kapal asing dinilai masih rentan menjadi korban pelanggaran hukum. Ada sejumlah faktor yang membuat perlindungan terhadap mereka masih karut-marut.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelindungan terhadap anak buah kapal atau ABK di kapal asing dinilai karut-marut. Faktornya, antara lain, aturan yang tumpang-tindih, ego sektoral kementerian dan lembaga, serta penegakan hukum yang lemah. Kondisi itu membuat ABK rentan menjadi korban pelanggaran hukum.
”ABK (anak buah kapal) memiliki kerentanan yang berlipat,” kata Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia Hariyanto Suwarno pada Webinar bertajuk ”Perlindungan ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing” yang digelar Indonesia Ocean Justice Initiative di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Menurut Hariyanto, penempatan ABK yang dijalankan melalui bisnis kotor dapat menyebabkan mereka rentan menjadi korban perbudakan. Bentuk-bentuk perbudakan di atas kapal bisa bersifat tenaga atau fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha memaparkan berbagai permasalahan yang banyak menimpa WNI ABK kapal penangkap ikan di luar negeri.
Permasalahan dimaksud, antara lain, terkait masalah gaji yang terlalu kecil, tidak dibayar, atau manipulasi gaji dalam kontrak kerja. Berikutnya, perlakuan tidak manusiawi dan kondisi kerja yang tidak baik.
”Ada kekerasan di atas kapal, makanan minuman yang tidak layak, serta waktu istirahat yang sangat terbatas,” ujar Judha.
Permasalahan berikutnya terkait kontrak kerja atau perjanjian kerja laut. Selanjutnya, permasalahan kompetensi dan pengetahuan serta permasalahan asuransi. Judha mengungkapkan fakta adanya tiga peraturan terkait perekrutan dan penempatan. Agen pengawakan harus memiliki izin dari Kementerian Perhubungan dan izin usaha dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Sementara itu, perekrutan dilakukan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang memiliki surat izin pelaksana dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sebagai gambaran, saat ini BNP2TKI adalah BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia).
”Fakta di lapangan ada tiga peraturan yang mengatur hal sama. Kami bisa sampaikan ada overlapping (tumpang-tindih). Dan, tentu ini secara tata kelola tidak baik karena dapat membingungkan awak kapal, agen awak kapal, dan membingungkan bagi penegakan hukum,” kata Judha.
Judha menuturkan, pihaknya mengusulkan beberapa hal, antara lain agar dibuat proses penempatan yang mudah, murah, cepat, aman, dan transparan. Proses penempatan melalui satu pintu. Fokusnya pada peningkatan perlindungan hak awak kapal dan keluarganya serta pada kompetensi dan penegakan hukum.
Sementara itu, Direktur Dukungan Hukum dan Akses terhadap Keadilan Indonesia Ocean Justice Initiative Fadilla Octaviani menyatakan, salah satu tantangan pengawasan bagi ABK adalah lokasi mereka berada di laut.
”Kapal-kapal long-distance fishing fleet, dibantu oleh pemerintahnya, disubsidi, untuk menangkap ikan di tempat jauh. Berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya, bertahun-tahun di laut, tanpa kembali ke pelabuhan,” kata Fadilla.
Hal seperti ini disebutkan dapat memicu praktik kerja paksa, penyelundupan manusia, dan bahkan bisa mengarah pada tindak pidana perdagangan orang. ”Sudah banyak riset, antara lain IOM, yang menyebutkan bahwa banyak modus yang ditawarkan manning agency; misalnya informasi tawaran pekerjaan yang tidak benar,” kata Fadilla.
Fadilla menuturkan, pihaknya merekomendasikan perbaikan tata kelola perlindungan pekerja migran Indonesia di kapal asing. Perbaikan tata kelola dimaksud mencakup aspek regulasi, kelembagaan, pencegahan, dan perlindungan selama bekerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Aris Wahyudi menuturkan, saat ini ada dua rancangan peraturan pemerintah (RPP). RPP pertama tentang pelaksanaan pelindungan pekerja migran Indonesia yang saat ini berada di Sekretariat Negara.
”Kedua, RPP tentang penempatan dan perlindungan awak kapal niaga dan awak kapal ikan. RPP ini di tingkat harmonisasi, di Kementerian Hukum dan HAM,” kata Aris.