Publik Ingin Konsistensi Regulasi dan Keteladanan Saat Pandemi
Tentu sulit meminta masyarakat disiplin ketika pada saat yang sama mereka melihat ada kesan ambigu atau kegamangan regulasi. Publik membutuhkan konsistensi aturan dan keteladanan dari pejabat publik.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Selama ini pemerintah gencar menyosialisasikan pentingnya menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan tidak mudik demi memutus penyebaran virus korona baru. Masyarakat diminta taat agar upaya menghentikan pandemi Covid-19 segera menuai hasil.
Di titik ini, pemerintah semestinya konsisten dalam mendorong penerapan prinsip-prinsip tersebut. Selain memastikan setiap kebijakan yang ditempuh konsisten, pemerintah semestinya juga memberi keteladanan. Kebijakan yang dikeluarkan, antara lain terkait pembatasan di sektor transportasi, mesti sejalan dengan upaya memutus penyebaran virus dan penanganan coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Seperti diketahui, demi mengendalikan transportasi untuk mencegah penyebaran Covid-19, Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020. Selain pengaturan jarak penumpang dan pembatasan jadwal transportasi umum, lewat regulasi ini pemerintah membatasi ojek konvensional ataupun daring untuk tidak membawa penumpang.
Regulasi lalu mengerucut pada pengaturan selama periode mudik. Pada 23 April 2020, Kementerian Perhubungan menerbitkan Permenhub No 25/2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Berikutnya, pada 6 Mei 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Surat edaran-surat edaran lain terbit menyusul terbitnya Surat Edaran No 4/2020 dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 itu. Sejumlah direktorat jenderal di Kementerian Perhubungan, misalnya, menerbitkan surat edaran dengan mencantumkan berbagai dasar hukum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri kesehatan, permenhub, bahkan keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Surat Edaran Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Beberapa waktu lalu, ada seorang pengamat membahasakan upaya segera memutus penyebaran Covid-19 dan menjaga kegiatan ekonomi adalah urusan hidup dan penghidupan. Namun, ada dilema yang dihadapi berbagai negara ketika harus membuat keputusan untuk segera memutus penyebaran Covid-19 sebab, pada saat yang sama, pemerintah juga ingin menjaga kegiatan ekonomi tetap jalan.
Indonesia, sama seperti 212 negara atau kawasan lainnya di dunia, saat ini sedang dilanda pandemi Covid-19. Hingga Jumat (15/5/2020) pukul 16.40 WIB, virus korona baru telah menginfeksi 4,54 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan 303.707 orang meninggal dunia. Sementara di Indonesia, berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, tercatat 16.006 kasus positif dan 1.076 orang meninggal dunia.
Ketika data kasus masih terus bertambah, pemerintah memberi sinyal pelonggaran pembatasan sosial berskala besar. Transportasi publik diizinkan jalan lagi. Jalanan di Jabodetabek pun padat kembali. Pada Kamis (14/5/2020) pagi, penumpang bahkan terlihat menumpuk di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Banten, tanpa jarak fisik.
Selain konsistensi regulasi, ketegasan penegak hukum untuk mengawasi pelaksanaan diperlukan agar aturan tak hanya keras di atas kertas. Publik juga membutuhkan contoh dari para pejabat publik. Keteladanan yang tidak justru menimbulkan kebingungan.
Tentu akan sulit meminta masyarakat disiplin ketika di saat yang bersamaan mereka melihat ada kesan ambigu atau kegamangan di sisi regulasi ataupun penegakannya. Keteladanan adalah ”perintah” yang paling efektif. Tanpa berpanjang kata, keteladanan akan secara otomatis menggerakkan warga.