Antisipasi Kembali Bekerja, Fisik dan Mental Perlu Disiapkan
Saat pekerja kembali beraktivitas dengan normal baru, penerapan protokol kesehatan dan keamanan kerja secara ketat merupakan kunci utama meminimalkan risiko.
Oleh
erika kurnia
·4 menit baca
Seminggu belakangan, Yeni mendapat berbagai informasi tentang wacana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Meski masih simpang-siur, wacana tersebut pun menjadi bahan diskusi atasan dan rekan kerjanya di toko parfum di bilangan Cawang, Jakarta Timur.
Dalam diskusi yang sering dilakukan melalui grup aplikasi berikirim pesan, sang atasan telah memberi sinyal agar Yuni dan karyawan lainnya bersiap ketika pemerintah merelaksasi operasional tempat usaha.
Sinyal itu pun masih membuat Yuni bimbang. Di satu sisi, ia rindu bekerja dan mendapat gaji yang dua bulan ini nihil. Di sisi lain, Yuni sudah nyaman mengurus dua anaknya di rumah dan khawatir dengan penularan Covid-19.
”Kalau ditanya saat ini, saya masih khawatir kalau kembali bekerja, apalagi di toko parfum pengunjung biasanya berlama-lama. Tapi, saya tahu usaha tempat saya bekerja sedang terancam, demikian juga kami para karyawan di sana,” tuturnya kepada Kompas, Selasa (19/5/2020).
Yuni merupakan satu dari 1.032.960 pekerja formal yang dirumahkan dalam dua bulan terakhir. Data tersebut dihimpun Kementerian Ketenagakerjaan hingga awal Mei 2020. Menurut laporan yang sama, sekitar 316.000 pekerja informal juga terdampak lumpuhnya aktivitas ekonomi.
Upaya pemulihan pun diwacanakan pemerintah pusat, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang mengkaji pelonggaran PSBB secara bertahap mulai 1 Juni hingga Juli 2020. Skenario yang sempat bocor ke publik itu menyebut bahwa tempat usaha dan sekolah bisa kembali beroperasi dengan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Ketua Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki) Astrid Sulistomo, yang dihubungi hari ini, berpendapat, belum saatnya pemerintah melonggarkan PSBB. Hal ini merujuk kurva penambahan kasus di Indonesia yang belum melandai.
”Namun, kalau harus kembali bekerja, kita enggak bisa kembali seperti dulu karena virus penyakit Covid-19 belum hilang. Kalau kembali beraktivitas seperti dulu, tentunya ada normal baru dengan protokol kesehatan,” tuturnya.
Kesiapan fisik
Jika pelonggaran PSBB akan dilakukan dengan mengizinkan kembali tempat usaha dibuka, kelaikan fisik dan risiko kesehatan pekerja perlu menjadi perhatian.
”Pemberi kerja atau masing-masing pekerja harus terbuka, apakah selama dirumahkan pernah mengalami sakit atau bahkan menjadi pasien Covid-19,” kata Astrid.
Keterbukaan dan identifikasi pada kondisi fisik akan menentukan penilaian terhadap risiko kesehatan di lingkungan kerja. Penerapan protokol kesehatan dan keamanan kerja secara ketat merupakan kunci utama meminimalkan risiko.
”Lingkungan kerja bisa berisiko kalau enggak ada pembatasan fisik, enggak pakai masker, dan enggak ada tempat cuci tangan. Perusahaan harus bisa menyediakan itu dan tahu bagaimana mengatur lingkungan kerja dalam normal baru,” pesannya.
Terkait perlu tidaknya pekerja menjalani rapid test atau tes Covid-19, Astrid mengatakan, keputusan itu tergantung dari identifikasi risiko. Tes perlu dilakukan hanya jika ada yang memiliki gejala Covid-19 atau pernah berkontak dengan pasien positif Covid-19.
Tidak hanya fisik, mental pekerja yang waswas jika harus kembali bekerja juga penting disiapkan. Psikolog Rumah Perubahan, Nur Anugerah, mengatakan, kesiapan ini berhubungan dengan emosional, sosial, intelektual, dan spiritual.
”Setiap perubahan kebiasaan dari yang menyenangkan ke tidak menyenangkan atau sebaliknya pasti menimbulkan perasaan cemas. Bahkan, bisa depresi kalau kondisi itu tidak bisa dikelola baik,” ujar Nur.
Pandemi, yang cenderung berdampak negatif, harus disiasati dengan membangun optimisme dan kepercayaan diri untuk dapat mengendalikan situasi. Pelaku usaha terdampak, misalnya, bisa memulai langkah itu dengan lebih dulu mengevaluasi tantangan yang dihadapi.
Perubahan sosial juga mungkin berubah di normal baru saat ini. Jika biasanya kita bertemu rekan kerja dan klien secara virtual, saat kembali ke kantor kita harus menjaga diri untuk bertemu fisik. Untuk mengatasi kegagapan saat berinteraksi, yang mungkin menambah tekanan mental, komunikasi positif dengan orang lain perlu dibangun.
Kesiapan intelektual juga bisa memengaruhi mental jika kita lama tidak mengasah pengetahuan atau keahlian yang dibutuhkan ketika kembali bekerja di kantor. Oleh karenanya, sisa waktu selama dirumahkan baiknya dimanfaatkan untuk melatih intelektual.
”Hal lain yang mungkin bisa membantu kesiapan mental adalah menemukan makna spiritual dari situasi pandemi. Saat kembali bekerja di kantor, pimpinan mungkin bisa mengajak berkumpul pekerjanya dan menanyakan pandangan mereka terhadap normal baru ini,” imbuhnya.