Peningkatan nilai tambah mineral adalah amanat undang-undang. Aturan baru sudah tercipta, tinggal membuktikan kesungguhan pemerintah menegakkan aturan demi terwujudnya hilirisasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Dalam sebuah diskusi mengenai prospek industri nikel dalam negeri yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta, akhir Februari lalu, harga bijih atau mineral mentah menjadi perdebatan. Petambang nikel keberatan dengan harga yang ditetapkan pengusaha smelter lantaran dianggap terlalu murah. Sementara ekspor nikel, yang harga di luar negeri jauh lebih baik, dilarang pemerintah mulai Januari 2020.
Pendapat yang kerap didengar, negara yang kaya sumber daya alam juga kaya masalah dan konflik. Setelah sempat terbit larangan ekspor mineral mentah pada 2014, pemerintah merelaksasi ekspor nikel kadar 1,7 persen mulai 2017. Sebenarnya, relaksasi itu berlangsung sampai dengan 2022, tetapi batas waktunya dipercepat dan berakhir mulai Januari 2020.
Petambang nikel mengaku kelabakan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, dalam diskusi pada akhir Februari lalu itu, menyebutkan, penghentian relaksasi ekspor bijih nikel membuat petambang terpukul.
Bagi petambang, harga jual dalam negeri terasa tak masuk akal karena ongkos produksinya saja mencapai 20 dollar AS per ton.
Harga jual nikel kadar rendah 1,7 persen yang diekspor sekitar 40 dollar AS per ton, sedangkan harga jual kadar yang sama di dalam negeri kurang dari 20 dollar AS per ton. Bagi petambang, harga jual dalam negeri terasa tak masuk akal karena ongkos produksinya saja mencapai 20 dollar AS per ton. Alasannya, sengketa mengenai kadar.
Petambang dan pengusaha smelter punya tim untuk menilai kadar nikel yang diperjualbelikan. Kerumitannya, tim penilai kedua belah pihak kerap berbeda tentang besaran kadar nikel tersebut. Selisih angka 0,1 untuk kadar nikel berpengaruh besar terhadap harga.
Kedua belah pihak meminta pemerintah hadir sebagai penengah. Mereka sama-sama menginginkan harga patokan mineral yang ditetapkan pemerintah. Dalam perumusan formula tersebut, kedua pihak, yakni petambang dan pengusaha smelter, sama-sama ingin dilibatkan dan memberi masukan.
Setelah berlangsung puluhan tahun, pemerintah baru sadar untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri dengan memperbanyak smelter. Berdasarkan catatan pemerintah, saat ini ada 11 smelter nikel yang sudah beroperasi dan segera menyusul 30 smelter yang saat ini dalam proses pembangunan.
Mengapa mengolah dan memurnikan bijih nikel di dalam negeri menjadi penting? Saat diolah menjadi feronikel, harganya melonjak 10 kali lipat dibandingkan dengan saat masih berbentuk bijih. Apabila sudah dimurnikan hingga menjadi baja tahan karat (stainless steel), harganya naik lagi menjadi sedikitnya 20 kali lipat.
Mempersoalkan bagaimana cara mendorong dan menumbuhkan industri hilir juga tak kalah penting.
Sayangnya, industri yang memanfaatkan nikel untuk produk akhir di dalam negeri tak banyak. Baja tahan karat bukan produk akhir yang sesungguhnya. Ia masih bisa diolah lagi menjadi peralatan rumah tangga, industri otomotif, dan masih banyak lagi. Bahkan, nikel juga menjadi salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik.
Mendebatkan harga mineral mentah boleh-boleh saja. Akan tetapi, jangan lupa, mempersoalkan cara mendorong dan menumbuhkan industri hilir juga tak kalah penting. Sebab, dari sanalah cita-cita meningkatkan nilai tambah dalam negeri tercapai dalam arti sebenarnya.
Semoga hasil revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang prosesnya dikebut di tengah pandemi Covid-19, bisa menjawab permasalahan itu dan menjadi jalan keluar yang terang.